Gunakan Bahasa "Saya": Saat mengungkapkan perasaan tidak nyaman, fokuslah pada perasaan Anda sendiri, bukan menyalahkan. Contoh: "Saya merasa tidak nyaman jika..." daripada "Anda selalu membuat saya merasa...".
Pilih Waktu dan Tempat yang Tepat: Hindari diskusi saat emosi memuncak atau di depan umum.
Dengarkan dengan Aktif: Berikan kesempatan pada pihak lain untuk berbicara dan cobalah memahami perspektif mereka.
Dari pihak menantu, harus ada empati dan perspektif yang baik. Menantu harus pahami posisi mertua. Cobalah memahami bahwa mertua mungkin berasal dari generasi yang berbeda, memiliki tradisi yang berbeda, atau merasa cemas karena berbagai alasan. Nasihat mereka mungkin datang dari niat baik, meskipun caranya tidak tepat. Dipihak mertua, juga wajib pahami posisi menantu. Menantu mungkin merasa tertekan, ingin mandiri, atau merasa kebebasannya terenggut.
Menetapkan Batasan yang Jelas dan Konsisten:
Privasi: Tentukan batasan tentang privasi rumah tangga, keuangan, dan keputusan pribadi.
Kunjungan: Atur frekuensi dan durasi kunjungan yang nyaman bagi semua pihak.
Pengasuhan Anak: Sepakati batasan mengenai campur tangan dalam pengasuhan anak. Komunikasikan kepada semua pihak bahwa keputusan akhir ada pada orang tua anak.
Jangan Libatkan Anak-Anak: Hindari melibatkan anak-anak dalam konflik orang dewasa.
Alih-alih fokus pada perbedaan, cobalah mencari kesamaan atau area di mana Anda bisa bekerja sama. Hargai niat baik dan upaya yang dilakukan oleh mertua atau menantu. Dan banyak habiskan waktu bersama (di Luar Konteks Masalah):
Kemudian melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama (misalnya makan malam, jalan-jalan, atau hobi) dapat membantu membangun hubungan positif di luar momen-momen konflik.
Jika konflik terus-menerus terjadi, sangat merusak, dan tidak dapat diselesaikan secara internal, pertimbangkan untuk mencari bantuan dari konselor keluarga atau terapis. Pihak ketiga yang netral dapat membantu memfasilitasi komunikasi dan menemukan solusi.
Konflik mertua-menantu seringkali tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, tetapi bisa dikelola agar tidak merusak hubungan dan kesejahteraan keluarga. Kunci utamanya adalah komunikasi yang efektif, penetapan batasan yang sehat, dan dukungan dari pasangan. (*)