Klaim tersebut segera direspons oleh Mayjen TNI Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Pasukan Soeharto mengambil alih komando, menghentikan gerakan G30S, dan menguasai Jakarta.
Pada 3 Oktober 1965, jenazah para korban penculikan ditemukan di sebuah sumur tua di kawasan Lubang Buaya. Soeharto kemudian menyatakan bahwa dalang kekejian itu adalah PKI, yang lantas dikenal sebagai peristiwa G30S/PKI.
Pahlawan Revolusi dan Pelanggaran HAM
Peristiwa ini menyeret konsekuensi politik yang masif dan diikuti oleh pembantaian secara massal terhadap ribuan orang yang dituduh anggota atau terafiliasi dengan PKI, yang kini disorot sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai bentuk penghormatan, para korban G30S/PKI dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi. Mereka adalah keenam jenderal Angkatan Darat, bersama dengan Pierre Tendean, K. S. Tubun, Kolonel Sugiono, dan Brigjen Katamso. Peristiwa G30S/PKI menjadi pengingat abadi akan gejolak politik dan konflik ideologi yang pernah mengguncang fondasi Republik Indonesia. (*)