Potensi pelanggaran netralitas sejatinya tidak hanya terjadi pada aspek politik. Namun, hal itu juga dalam bentuk pelanggaran imparsialitas pada aspek pelayanan publik, manajemen ASN dan pengambilan keputusan, khususnya bagi pejabat-pejabat publik.
BALIKPAPAN–Kaltim masuk dalam kategori potensi pelanggaran tinggi netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang digelar November mendatang. Peringatan itu muncul dari temuan yang dirilis Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Berdasarkan temuan pilkada tahun 2020–2021, Kaltim masuk 24 besar provinsi dengan jumlah pelanggaran netralitas ASN lebih 20 ASN.
Jumlah tepatnya sebanyak 30 ASN. Angka itu menempatkan Kaltim pada peringkat ke-20 perihal jumlah pelanggaran netralitas ASN di Indonesia yang diperbaharui Januari lalu. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Suganda Pandapotan Pasaribu mengatakan, ASN harus netral untuk memastikan pelaksanaan birokrasi pelayanan publik kepada masyarakat tetap terjaga.
“Meski terjadi pergantian kepemimpinan,” katanya dalam diskusi Penanganan Laporan Masyarakat, Seleksi CASN 2024, dan Netralitas ASN dalam Pilkada 2024 yang digelar Kamis (2/5). Masih mengutip data KASN pada Survei Netralitas ASN pada Pilkada 2020, pihak yang paling memengaruhi ASN untuk melanggar netralitas adalah tim sukses. Dengan persentase sebanyak 31,96 persen.
Kemudian atasan ASN sebesar 27,99, dan pasangan calon pilkada sebesar 24,17 persen. Lalu sebesar 4,74 persen adalah faktor parpol pengusung, dan 11,14 persen adalah lainnya. “Jadi kalau di daerah, kadang-kadang kita lebih takut dengan tim sukses. Karena sebelum dilantik kepala daerahnya, tim sukses ini sudah menjadi kepala daerah duluan. Walaupun tidak menang. Tapi dia sudah jadi kepala daerah penentu. Jadi ASN berbondong-bondong ke tim sukses untuk memperkenalkan diri. Bahkan diminta macam-macam,” katanya.
Dia melanjutkan, potensi pelanggaran netralitas ASN di daerah adalah di tingkat kebijakan. Di mana nasib ASN tergantung kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Sementara di daerah, sambung dia, PPK adalah kepala daerah yang juga merupakan pejabat politik. Kepala daerah memiliki kewenangan untuk memindahkan ASN dan memiliki kuasa terhadap aset ataupun anggaran. Hal itu menimbulkan kerentanan untuk memobilisasi sumber daya tersebut.
Suganda menceritakan pengalamannya saat berkarier di pemerintahan daerah, yakni di Pemkab Musi Rawas, Sumatra Selatan. “Kalau kita netral jangan takut juga. Pada waktu itu kebetulan bupati mencalonkan sebagai gubernur. Maka akan terjadi mobilitas atau politisasi birokrasi secara besar-besaran. Dan saya bisa katakan, satu-satunya (ASN) yang tidak ikut kampanye adalah saya. Bahkan setiap apel, saya katakan ASN itu harus netral. Apakah saya diberhentikan? Tidak juga. Ternyata ketakutan-ketakutan kita sebagai ASN itu yang membuat kita men-downgrade atau integritas diri kita menjadi tidak netral,” pesan dia.
Akan tetapi, lanjut pria kelahiran Palembang, 16 September 1973 ini, ada konsekuensi yang harus ditanggung ASN ketika memilih posisi netral. Dia pun menceritakan saat dipilih menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Kepulauan Bangka Belitung pada Maret 2023. Saat itu, dia dihadapkan pada pilihan untuk memilih tetap netral atau berpihak. Pasalnya, jika tidak netral, maka dia akan tetap menduduki jabatan Pj Gubernur Kepulauan Bangka Belitung. Akan tetapi, dia menegaskan melalui pernyataannya, bahwa tidak akan “menjual diri” karena takut kepada partai politik.
Sehingga apabila dia dicopot dari jabatannya sebagai Pj gubernur Kepulauan Bangka Belitung, dia akan memilih untuk dicopot saja. “Jadi tidak usah pakai tekanan. Diancam-ancam. Jadi itu yang saya katakan. Dan akhirnya terjadi, di belakang itu terserah bapak ibu yang artikan. Artinya ketika kita netral memang ada konsekuensi yang harus kita tanggung. Tetapi kita menjadi nyaman,” terang dia.
Oleh karena itu, Suganda berpesan kepada seluruh ASN yang akan menghadapi perhelatan Pilkada Serentak 2024, untuk tetap menjaga netralitasnya. Khususnya ASN yang berada di pemerintah daerah. Karena kebanyakan ASN yang bertugas di pemerintah daerah, mencari “pegangan” dengan cara memihak kepada salah satu kandidat pasangan calon kepala daerah. Itu dilakukan untuk mengamankan kariernya selama lima tahun kepemimpinan, jika pasangan calon tersebut terpilih menjadi kepala daerah.
“Artinya ketika kita netral, kita jangan takut. Kita juga pun bisa tetap professional. Dan kita masih tetap terpakai,” ujarnya yang menjabat sebagai Sekjen Ombudsman RI sejak tahun 2018 ini. Di forum yang sama, anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan, pihaknya tidak cukup untuk mendorong ASN berani untuk netral. Karena pelanggaran netralitas itu bukan semata karena ASN mau untuk melakukan hal tersebut. Meski menjadi pelaku, ASN juga pada beberapa hal dapat menjadi korban.
“Terkadang mereka enggak mau, tetapi ada kekuatan yang lebih besar di atasnya. Yang mendorong, bahkan memaksa untuk tidak netral. Akhirnya mengambil posisi itu, karena pertimbangan kalkulasi rasional mereka,” katanya. Oleh karena itu, mantan Pimpinan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) ini menilai, sesungguhnya yang dibutuhkan ASN adalah tidak hanya supervisi atau pengawasan. Tetapi proteksi atau perlindungan. Namun siapa pihak yang bisa memberikan perlindungan agar ASN kemudian berani mengambil posisi netral, atau mengatakan tidak kepada atasannya, hal tersebut menurutnya adalah tantangan.