Pengamat politik Universitas Mulawarman (Unmul) Budiman menganggap politik dinasti adalah sebuah fenomena yang lahir karena diidentikkan dengan sistem pemerintahan berbasis monarki. Yang melanggengkan kekuasaan berasaskan keturunan atau kekeluargaan. Sehingga Indonesia sebagai negara republik, seharusnya tidak mengenal istilah dinasti.
“Namun karena fenomena yang terjadi di perpolitikan kita di mana anak menjadi penguasa setelah ayah atau ibunya, istri setelah suaminya, kemudian anaknya atau keluarga yang secara bersamaan atau bergantian masuk menjadi bagian dari kekuasaan, maka masyarakat kita mengindentikkan kondisi ini dengan dinasti,” ucap Budiman.
Secara dampak, Budiman menyebut politik dinasti lebih banyak berimplikasi negatif dalam sebuah tatanan pemerintahan dan kemajuan sebuah daerah. Karena jika pemerintahan yang terdiri dari eksekutif dan legislatif di isi oleh keluarga atau kelompok yang sama, maka potensi munculnya perilaku koruptif dan kongkalikong di luar sistem besar terjadi.
“Namun ini kembali lagi ke sosok atau keluarga tersebut. Karena jika kekuasaan yang digenggam oleh dinasti politik ini bisa bertindak secara profesional dan mengarah kepada kesejahteraan masyarakat maka kecenderungannya bisa positif. Kita ambil contoh Bontang,” ucap Budiman.
Fenomena politik dinasti di Bontang lanjutnya, jadi contoh positif di mana pada masa pemerintahan antara pasangan Andi Sofyan Hasdam, Neni Moerniaeni dan anaknya, Andi Faizal Hasdam hampir secara bersamaan dan bergantian duduk di pusaran kekuasaan. Di mana Bontang kala itu dianggap maju dan berkembang. Jika dibandingkan dengan kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2020 lalu.
“Saat itu, masyarakat Bontang ingin muncul sosok baru. Sehingga, terpilih lah wali kota yang sekarang. Bu Neni kalah waktu itu. Namun, belakangan muncul ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan saat ini. Survei terbaru, sosok Neni kembali diinginkan masyarakat untuk kembali memimpin,” sebutnya.
Namun Budiman tetap mengingatkan, politik dinasti cenderung lebih memiliki dampak negatif dibandingkan positifnya. Karena dari sejumlah kasus di Indonesia dan Kaltim, adanya politik dinasti berakhir dengan perilaku koruptif dan persekongkolan jahat antara eksekutif dan legislatif.
“Sebenarnya dinasti politik lebih subur jika berada di suatu wilayah dengan kultur masyarakat homogen. Namun berbeda di Kaltim yang heterogen, politik dinasti bisa tumbuh karena di sini para pelakunya adalah mereka yang memiliki kemampuan modal dan finansial yang besar,” sebutnya.
Dengan kemampuan finansial tersebut, maka Budiman menyambungkannya dengan masih rendahnya pendidikan politik masyarakat termasuk di Kaltim. Hal ini disebutnya berdasarkan fenomena pada Pileg 2024 lalu. Di mana indikasi perilaku politik uang begitu luar biasa terjadi di masyarakat.
“Pemilih kita cenderung tidak melihat program dan visi misi. Melainkan ‘serangannya’. Pileg 2024 lalu saya melihat begitu hebat indikasi Indonesia. Dan secara umum di Kaltim dan khusus di kabupaten/kota itu yang berpolitik adalah mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang luar biasa,” ujarnya.
Dengan adanya politik dinasti yang dilakukan oleh keluarga atau kelompok dengan kemampuan ekonomi besar tersebut, maka dampak lain adalah tidak sehatnya demokrasi. Di mana sosok-sosok politisi yang memiliki kemampuan dan program yang bisa memajukan masyarakat dan daerah tidak bisa terpilih karena kalah modal hingga dukungan penguasa.
“Sudah jamak di Indonesia, siapa yang menguasai sektor ekonomi akan menguasai sektor politik. Dan yang terjadi saat ini yang menguasai sektor ekonomi adalah orang-orang yang punya kecenderungan ingin menguasai politik. Masyarakat awamnya, lebih memilih mereka yang memberi mereka uang dibandingkan menjanjikan program. Bahkan di Kaltim, muncul fenomena masyarakat berharap Pilgub Kaltim head to head antara Rudy Mas’ud dan Isran Noor. Karena keduanya punya kekuatan finansial besar,” ulasnya. (rom/k15)