• Senin, 22 Desember 2025

Sanae Takaichi Jadi PM Perempuan Pertama Jepang 

Photo Author
- Senin, 6 Oktober 2025 | 08:45 WIB
Sanae Takaichi
Sanae Takaichi

 

TOKYO – Jepang bersiap menyambut perdana menteri perempuan pertamanya, Sanae Takaichi. Perempuan kelahiran 7 Maret 1961 ini terpilih sebagai Ketua Partai Demokrat Liberal (LDP) pada 4 Oktober 2025 dan diperkirakan akan resmi menjabat sebagai perdana menteri pada akhir bulan ini.

Namun, pencapaian bersejarah ini diwarnai sorotan tajam karena pandangan politiknya yang dinilai sangat konservatif, terutama pada isu-isu sosial di negara yang masih kental dengan budaya patriarki.

Janji Kabinet Pro-Perempuan vs Sikap Anti-Perubahan

Takaichi, yang mengidolakan mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, berjanji akan membentuk kabinet dengan keterwakilan perempuan setara dengan negara-negara Nordik, jauh melampaui kabinet sebelumnya di bawah PM Shigeru Ishiba. Ia juga berjanji untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah kesehatan perempuan, bahkan secara terbuka berbagi pengalaman pribadinya menghadapi menopause.

Namun, di balik sikap terbuka itu, kebijakan Takaichi soal isu gender mencerminkan posisi konservatif yang kaku. Ia secara tegas menolak mengubah hukum warisan abad ke-19 yang mewajibkan pasangan menikah memakai nama keluarga yang sama—praktik yang hampir selalu memaksa perempuan mengambil nama suami.

Mendukung aturan suksesi keluarga kekaisaran Jepang yang hanya memperbolehkan laki-laki naik takhta. Secara tegas menolak pernikahan sesama jenis.

Pakar politik dan gender dari Universitas Tokai, Profesor Yuki Tsuji, menyatakan keraguannya bahwa kepemimpinan Takaichi akan membawa perubahan kebijakan signifikan dalam hal kesetaraan gender.

"Takaichi tidak menunjukkan minat terhadap hak-hak perempuan atau kebijakan kesetaraan gender. Jadi, kecil kemungkinan akan ada perubahan kebijakan signifikan dibandingkan pemerintahan LDP sebelumnya," ujar Prof Tsuji seperti dikutip AFP, Minggu (5/10).

Meski demikian, Tsuji mengakui terpilihnya seorang perempuan sebagai perdana menteri memiliki makna simbolik yang besar. Namun, ia memperingatkan bahwa ekspektasi publik yang tinggi bisa menjadi bumerang. "Kalau dia (Takaichi) gagal, bisa muncul persepsi negatif terhadap pemimpin perempuan di masa depan," imbuhnya.

Kenaikan Takaichi terjadi di tengah catatan buruk Jepang dalam kesetaraan gender global. Menurut laporan Global Gender Gap 2025 dari World Economic Forum, Jepang berada di posisi 118 dari 148 negara.

Keterwakilan perempuan di dunia politik dan korporasi masih minim. Hanya sekitar 15 persen kursi di majelis parlemen yang diisi perempuan. Di dunia korporasi, hanya 13,2 persen posisi manajerial dipegang oleh perempuan, persentase terendah di antara negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Yuka, seorang pekerja kantoran di Tokyo, menyambut positif kemenangan Takaichi sebagai kebanggaan global, namun tidak menampik keraguan terhadap isu kesetaraan. "Ada banyak perempuan yang kompeten, tapi posisi pemimpin masih didominasi laki-laki di Jepang. Banyak perempuan terpaksa mundur di puncak karier mereka karena harus merawat anak atau orang tua," keluhnya.

Bagi sebagian warga, terpilihnya Takaichi adalah harapan untuk kemajuan. "Dulu Jepang pernah punya kaisar perempuan, tapi belum pernah punya perdana menteri perempuan. Jadi menurut saya, ini bisa jadi peluang bagi Jepang untuk maju," kata Ryuki Tatsumi, seorang perawat berusia 23 tahun. (*) 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X