Mau tahu seperti apa kondisi sesungguhnya pendidikan di pedalaman Kalsel? Inilah yang terjadi.
*****
Di pekan ketiga Januari, sebuah notifikasi muncul di layar ponsel. Pesan yang masuk membuat hati saya berdebar penuh antusiasme. Itu adalah ajakan ekspedisi bersama rekan-rekan dari Gerakan Buku Meratus (GBM) untuk mengunjungi Desa Sing-Singan, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan.
Desa ini terletak di kaki Gunung Meratus. Hanya sekitar 43 kilometer dari pusat Kota Paringin. Itu menurut aplikasi peta di ponsel. Namun kenyataannya, perjalanan menuju ke sana memakan waktu lebih dari 7 jam.
Baca Juga: Ternyata Realisasi Anggaran Seragam Siswa SMP di Tanah Bumbu Baru 35 Persen
Sing-Singan merupakan salah satu desa paling terpencil di Kabupaten Balangan. Dengan akses yang sangat terbatas, desa ini berbatasan langsung dengan kabupaten Kotabaru. Jalan setapak licin dan curam melintasi jurang-jurang dalam yang mengancam keselamatan di sepanjang perjalanan. Kondisi ini sejalan dengan kehidupan yang berjalan lambat di desa ini. Tanpa listrik, tanpa sinyal ponsel, bahkan akses internet tidak terjangkau.
Mayoritas penduduk desa ini bekerja sebagai petani. Namun, mereka kerap kali menghadapi kesulitan dalam memasarkan hasil bumi. Letaknya yang terpencil membuat mereka terisolasi secara ekonomi. Tak banyak yang bisa mereka nikmati, selain hasil kerja keras bertani untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Meski hidup dalam keterbatasan, semangat untuk bertahan hidup dan berkembang tetap menyala. Terutama di hati anak-anak yang berjuang keras untuk mendapatkan pendidikan layak. Setiap pagi, anak-anak di sana harus menempuh perjalanan panjang menuju sekolah. Salah satunya adalah Mitro. Perjuangan siswa kelas 2 SD ini layak dikasih jempol.
]Cita-citanya ingin menjadi guru. Setiap hari, Mitro berjalan kaki selama tiga jam melewati hutan lebat dan jalanan yang sulit hanya untuk sampai ke sekolahnya. Jalan setapak yang licin dan terjal menempa kegigihannya. Ia tetap bertahan, meski tak ada jaminan kenyamanan atau keamanan dalam perjalanan. "Saya ingin jadi manusia terdidik, agar kelak bisa mendidik," ujar Mitro dengan senyum polos.
Mitro bersekolah di SD Kecil (SDK) Sing-Singan. Sebuah bangunan sederhana yang masih berada di bawah naungan SDN Sawang. Sekolah ini terdiri dari dua ruang kelas kayu beratap genteng.
Satu ruang kelas yang disekat menjadi dua bagian, dan satu ruang untuk tempat istirahat para guru. Sebanyak 12 siswa dan lima pendidik berjuang di sana, di tengah keterbatasan fasilitas. Meski sederhana, semangat belajar anak-anak di sana tak pernah luntur.
Para guru yang datang dari luar desa terpaksa tinggal di sekolah. Mengingat jarak terlalu jauh untuk dijangkau setiap hari. Mereka rela mengorbankan kenyamanan pribadi demi memberikan yang terbaik bagi anak-anak didiknya. Meskipun kondisi sulit, mereka tahu betul bahwa pendidikan adalah kunci untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Situasi ini menjadi alasan utama bagi tim Gerakan Buku Meratus (GBM) untuk mengunjungi desa ini. Datang dengan semangat untuk membawa perubahan, memberi sedikit kebahagiaan dan harapan bagi anak-anak di SDK Sing-Singan.
Perjalanan menuju Desa Sing-Singan tak ubahnya pendakian menuju puncak gunung. Sejak pukul 13.45, rombongan memulai perjalanan dari Desa Sawang. Ini desa terakhir yang bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor.