RANTAU – Angka perceraian di Kabupaten Tapin kembali menjadi sorotan.Data dari Pengadilan Agama (PA) Rantau mencatat, sepanjang 2025 hingga September, sudah masuk 371 perkara perceraian, dan mayoritasnya didominasi cerai gugat atau perceraian yang diajukan pihak istri.
Panitera PA Rantau, Muhammad Kharis Ridhani, menjelaskan dari total perkara tersebut, 295 merupakan cerai gugat, sementara 76 sisanya cerai talak.
Dari jumlah itu, 323 perkara sudah diputus, yakni 260 cerai gugat dan 63 cerai talak. “Mayoritas alasan perceraian karena perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus. Faktor ekonomi biasanya hanya menjadi pemicu tambahan, bukan penyebab utama,” ucap Kharis, beberapa hari lalu.
Baca Juga: Berkelahi dengan Istrinya saat Mabuk, Pria Ini Malah Ancam Kades Pakai Sajam
Kharis mengungkapkan, perceraian paling banyak terjadi pada pasangan usia produktif 25–40 tahun. Sementara perceraian pada usia di atas 40 tahun hanya sekitar 5–10 persen dari total perkara.
Fenomena ini, menurutnya, mencerminkan stabilitas rumah tangga di kalangan pasangan muda masih rentan goyah. Perselisihan kecil yang tak kunjung reda sering berujung pada perceraian.
“Banyak pasangan muda yang sulit menemukan titik temu. Ketika konflik berlangsung lama, perceraian dianggap jalan keluar,” ujarnya. Jika melihat data tahun sebelumnya, tren perceraian di Tapin memang mengkhawatirkan. Pada 2024 tercatat 410 perkara, dengan 321 di antaranya cerai gugat. Tahun ini, hingga September, jumlahnya sudah 371 perkara.
“Kemungkinan besar angka perceraian tahun ini bisa melampaui tahun sebelumnya karena masih tersisa beberapa bulan menuju akhir tahun,” ungkap Kharis. Meski setiap perkara diwajibkan melalui proses mediasi, namun tingkat keberhasilannya masih rendah. Menurut Kharis, banyak pasangan yang datang ke pengadilan sudah bulat memutuskan berpisah.
“Kami selalu mendorong mediasi sebagai langkah awal. Tapi umumnya pasangan sudah tidak ingin melanjutkan rumah tangga, sehingga mediasi jarang berhasil,” katanya.(*)