Tahulah Pian dalam adat masyarakat Banjar, istilah jujuran memiliki makna yang sangat penting dalam prosesi perkawinan. Budayawan Kesultanan Banjar, Ersa Fahriyanur menyebut jujuran merupakan salah satu tradisi yang diwariskan dari sistem perkawinan masyarakat patrilineal. Dikenal sebagai perkawinan jujur atau manjujur.
“Dalam perkawinan adat Banjar, pihak pria berkewajiban menyerahkan sesuatu yang berharga kepada pihak perempuan, yang kemudian dikenal dengan istilah jujuran,” jelas Ersa. Ia menerangkan, jujuran berbeda dengan mahar yang menjadi syarat sah pernikahan dalam Islam. Jika mahar bersifat simbolis dan wajib menurut syariat, maka jujuran adalah pemberian pihak pria kepada pihak perempuan berupa uang dengan nominal yang ditentukan oleh keluarga calon mempelai perempuan.
“Fungsi jujuran biasanya sebagai bantuan biaya pesta perkawinan, sekaligus diharapkan menjadi modal awal bagi pasangan dalam menjalani rumah tangga,” tambahnya.
Namun, nilai jujuran sering kali menjadi penentu, apakah lamaran bisa berlanjut atau tidak. Besaran yang diminta pihak perempuan terkadang melampaui kemampuan pihak pria. Perundingan keluarga bisa berjalan alot.
Faktor penentu tingginya jujuran antara lain status sosial keluarga calon mempelai perempuan, tingkat pendidikan, serta pandangan masyarakat bahwa jujuran tinggi menjadi kebanggaan dan kehormatan tersendiri.
Meski demikian, Ersa menegaskan tidak semua keluarga menetapkan nominal tinggi. Ada juga yang memilih jalan sederhana, dikenal dengan istilah sapambari. “Artinya seikhlasnya saja, cukup untuk melangsungkan pesta tanpa memberatkan pihak pria,” ungkapnya.
Meskipun jujuran tidak termasuk syarat sah pernikahan, dalam praktiknya tradisi ini sangat memengaruhi keberlangsungan perkawinan. “Sering kali tanpa adanya jujuran, sebuah perkawinan bisa batal dilangsungkan,” ungkap Ersa. (*)