kalimantan-tengah

Cover dan Bencana

Selasa, 17 September 2019 | 09:52 WIB

Oleh: Gunawan

Suara di ujung telepon itu agak serak. Wanita lebih setengah abad itu bertanya, ”Apa di Sampit juga dikepung asap? Sulit sekali bernapas sekarang. Tenggorokan sakit.”

”Pakai masker susah. Hidung gatal jadinya. Biar saja menghirup asap begini,” ujar wanita 61 tahun itu.

Petikan percakapan itu terjadi menjelang malam. Minggu (6/9). Wanita di ujung telepon itu baru sadar parahnya polusi udara akibat karhutla ketika asap menyusup masuk ke ruang-ruang tempatnya berlindung.

Beberapa hari sebelumnya, dia tak mengetahui asap hampir sepanjang hari mengepung Palangka Raya karena nyaris tak pernah keluar rumah. Penyakit gula dan komplikasi lainnya, membuat daya tahan tubuhnya menurun jauh.

Badannya kurus. Selain digerogoti gula, usia yang kian senja juga turut berperan besar mengubah postur tubuhnya dalam sepuluh tahun belakangan. Belum lagi penglihatan yang juga agak kabur, sehingga dia tak ada pilihan selain di rumah seharian.

Jadi, wajar apabila wanita itu bertanya kondisi asap yang dirasakannya kian menyengat. Dan menyiksa.

Polusi udara di Palangka Raya memang telah menyentuh level berbahaya. Rasa sesak tak hanya dirasakan wanita di ujung telepon itu. Tapi juga ratusan ribu warga lainnya. Asap karhutla telah merampas hak asasi paling mendasar manusia; menghirup udara bersih.

Peristiwa yang sama juga pernah terjadi empat tahun silam. 2015 lalu. Suasana kota bahkan sampai menguning. Saking parahnya. Sejumlah orang bertumbangan. Pingsan. Tak kuat menahan gempuran asap. Bahkan, teman saya bercerita, kucing juga banyak yang mati menghirup udara beracun saat itu.

Kini, bencana yang sama kembali menyapa. Warga lagi-lagi dipaksa berdamai dengan situasi. Mengeluh pun percuma. Asap sudah mengepung di sana-sini. Jeritan, keluhan, kecaman, silih berganti mewarnai linimasa hari-hari ini. Berharap suara didengar mereka yang punya kuasa.

***

Cover surat kabar harian Radar Sampit edisi Senin (16/9) jadi viral. Karikatur Presiden RI Joko Widodo dengan latar kabut asap, menggunakan masker yang menutupi mata, beredar luas di media sosial.

Ada beragam respons menyikapi cover itu. Sebagian publik di Kalteng merasa aspirasinya terwakili. Ada pula yang mengkritisi. Mengaitkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Radar Sampit dianggap menghina simbol negara.

Benarkah demikian? Benarkah karikatur Presiden itu mengandung unsur kebencian? Apakah Radar Sampit tak lagi menghargai simbol negara? Apakah ada unsur dengki memuatnya?

Saya yakin semua punya jawaban masing-masing. Silakan. Itu hak Anda. Saya tak mau berdebat tentang itu. Yang sakit hati silakan. Yang mendukung, ayo terus viralkan.

Halaman:

Tags

Terkini