SAMPIT – Praktik pungutan liar (pungli) yang menyasar para sopir kendaraan angkutan di sejumlah SPBU di Kota Sampit mulai meresahkan. Oknum tidak bertanggung jawab dilaporkan menarik uang "keamanan" atau antrean dengan nilai fantastis, yang secara tegas disebut Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) sebagai bentuk premanisme.
Berdasarkan investigasi di lapangan, para oknum ini menjalankan aksinya dengan dalih mengatur ketertiban kendaraan yang mengantre BBM. Meski menggunakan istilah "sukarela", pada praktiknya tarif yang dipatok sangat memberatkan para sopir.
Besaran pungutan mulai dari Rp25.000 hingga Rp300.000 per kendaraan. Titik Rawan ada di area sekitar antrean panjang kendaraan angkutan di SPBU.
Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kotim, Eddy Hidayat Setiadi, menyatakan bahwa pihaknya telah mengantongi laporan intelijen terkait tingginya angka pungutan tersebut. "Ini tindakan sewenang-wenang tanpa dasar hukum yang jelas. Masuk kategori premanisme," tegasnya.
Merespons situasi ini, Tim Satgas Terpadu Operasi Penanganan Premanisme—yang dibentuk Bupati Kotim Halikinnor—langsung bergerak melakukan sosialisasi di empat titik strategis pada Rabu (17/12/2025).
Daftar SPBU yang jadi sasaran sosialisasi adalah SPBU Jalan Pelita, SPBU Jalan HM Arsyad (Bundaran KB), SPBU Jalan Jenderal Sudirman Km 2, SPBU Jalan Tjilik Riwut (Bundaran Samekto).
ddy menjelaskan bahwa langkah awal ini bersifat preventif guna memastikan situasi kondusif menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru). Meski belum ada penindakan keras atau penangkapan, tim Satgas memberikan peringatan keras kepada oknum-oknum di lapangan.
"Kami ingin masyarakat tahu bahwa ada Satgas yang mengawasi. Jika setelah sosialisasi ini masih ada indikasi premanisme dan pungli, kami minta para sopir atau warga segera melapor untuk ditindaklanjuti secara hukum," tambah Eddy.
Menariknya, saat personel Satgas tiba di lokasi, aktivitas di sejumlah SPBU mendadak terlihat normal dan tertib—berbeda jauh dengan laporan keresahan yang selama ini diterima dari para sopir. Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik pungli tersebut dilakukan secara terorganisir namun "kucing-kucingan" dengan aparat.(*)