SAMPIT- Setelah di Kalbar, kini program transmigrasi yang akan dijalankan pemerintah juga ditolak di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Rencana transmigrasi ini menuai reaksi keras dari lembaga adat jika tujuannya ke Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
Dewan Adat Dayak (DAD) Kotim menolak program tersebut karena dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. ”Kami menolak jika Kotim dijadikan daerah transmigrasi, karena masih banyak persoalan di daerah yang menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang jauh di bawah garis kemiskinan,” kata Gahara, Ketua Harian DAD Kotim.
Baca Juga: Empat Wilayah di Kalbar Masuk Prioritas Transmigrasi Nasional, Muncul Penolakan dari Warga Lokal
Gahara menegaskan, program transmigrasi justru dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat lokal. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, transmigrasi malah memicu persaingan sumber daya yang tidak seimbang hingga pada akhirnya memicu persoalan sosial. ”Kami melihat justru di sini akan menjadikan masyarakat adat dan petani lokal semakin tersingkirkan,” ujarnya. Dia melanjutkan, penolakan tersebut juga dilatarbelakangi pelaksanaan transmigrasi dengan mendatangkan warga dari luar Kalteng dikhawatirkan bersinggungan dengan kepentingan masyarakat lokal, seperti hak politik, budaya, dan ekonomi.
Gahara menegaskan, program transmigrasi jangan sampai menjadikan masyarakat Dayak sebagai penonton di tanahnya sendiri. Transmigrasi boleh saja dijalankan, tapi untuk masyarakat lokal, bukan dari luar pulau. Menurutnya transmigrasi nasional telah berlangsung sejak 1970-an dan menyisakan banyak persoalan. Mulai dari ketimpangan penguasaan tanah, rusaknya lingkungan, hingga hilangnya akses masyarakat Dayak terhadap tanah adat dan hutan leluhur.
”Jakarta (pemerintah pusat, Red) jangan melihat bahwa Kalteng ini bentuknya hutan saja. Perlu diketahui, sebelum Republik Indonesia ada, suku Dayak sudah lama mendiami hutan belantara dan ini sejatinya bukan tanah kosong yang diklaim sebagai tujuan transmigrasi,” tegasnya.
Lebih lanjut Gahara mengatakan, masyarakat lokal saat ini masih jauh tertinggal. Kondisi ini kerap disampaikan kepada pemangku adat hingga elite pemerintahan. Hak-hak masyarakat adat banyak yang tidak diakui.
Hasil hutan, perkebunan, dan pertambangan, tambahnya, selama ini selalu disetor ke pusat, sementara masyarakat adat masih bergelut dengan kemiskinan, keterbatasan lahan pekarangan, serta minim akses pendidikan dan kesehatan. ”Bisa saya katakan dan tegaskan, eksistensi masyarakat adat ini memang diakui negara, tetapi hak-haknya banyak terabaikan,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kotim Rimbun mengatakan, program transmigrasi ke Kotim akan memicu konflik sosial. Walaupun Kotim belum masuk dalam daerah tujuan program transmigrasi nasional, tidak menutup kemungkinan akan jadi tujuan berikutnya.
Apalagi sebelumnya Pemkab Kotim juga sempat mengusulkan empat kecamatan untuk program transmigrasi, kendati belum disetujui. Oleh karena itu, seiring dengan persiapan pemerintah daerah menyambut program transmigrasi, dia berharap Pemkab Kotim juga bersiap mengantisipasi segala potensi dampak yang terjadi di masyarakat.
Rimbun juga menyinggung penindakan yang dilakukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang hanya berpihak kepada warga yang mengantongi sertifikat hak milik (SHM). Padahal, warga di pelosok banyak yang belum paham legalitas lahan. ”Ini menjadi kesenjangan atau ketidakadilan di daerah dan masyarakat lokal yang belum mengantongi SHM dari lahan yang dimiliki di kawasan, sedangkan para transmigran belum datang saja sudah diberikan SHM,” katanya.
Dia berharap pemerintah bisa mengevaluasi terkait rencana transmigrasi agar tidak ada masyarakat yang merasa dianaktirikan. Pemkab Kotim diharapkan dapat memperjuangkan kesejahteraan masyarakat lokal dan tidak sekadar mengikuti program dari pusat. ”Kami mendukung program itu, tapi dengan catatan supaya pemerintah juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal. Jangan nanti kesejahteraan masyarakat transmigrasi diperhatikan, tapi masyarakat lokal diabaikan,” tegas Rimbun. (ang)