SAMPIT – Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Dadang Siswanto, menyuarakan keprihatinan mendalam atas keterbatasan anggaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kotim. Kondisi ini dinilai mengancam visi pemerintah daerah untuk menjadikan Sampit sebagai kota wisata dan budaya .
Dadang menjelaskan, minimnya alokasi dana ini merupakan dampak dari pengurangan transfer dana ke daerah dari pemerintah pusat. Anggaran yang tersedia saat ini jauh dari memadai untuk mendukung program pengembangan pariwisata yang ambisius.
“Kondisinya hampir sama dengan OPD lain. Anggarannya sangat minim, padahal keinginan kepala daerah untuk menjadikan Sampit sebagai kota wisata dan budaya itu luar biasa,” ujar Dadang usai rapat pembahasan RAPBD 2026 antara Komisi III dan jajaran Disbudpar Kotim baru-baru ini.
Anggaran Hanya Tersedia Rp600 Juta
Dadang mengungkapkan, anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan pariwisata di Disbudpar Kotim hanya sekitar Rp600 juta. Dana tersebut terbagi habis untuk tiga agenda besar tahunan, yaitu Festival Habaring Hurung, Kapal Hias, dan Tari Kolosal.
Jumlah tersebut dinilai sangat kecil, padahal menurutnya, kepala dinas sebelumnya telah menyampaikan berbagai ide dan cita-cita besar untuk menjadikan Sampit sebagai destinasi wisata berdaya tarik tinggi.
“Dari usulan tambahan sekitar Rp8 miliar yang mereka ajukan, kami minta untuk disesuaikan ulang. Kawan-kawan di Komisi III juga menyarankan agar kegiatan yang diusulkan lebih spesifik dan benar-benar memberikan dampak besar terhadap peningkatan kunjungan wisata,” imbuh Dadang.
Lebih lanjut, Dadang Siswanto menegaskan bahwa arah pembangunan sektor pariwisata dan kebudayaan harus memiliki visi strategis dan berkelanjutan, bukan sekadar berbasis kegiatan seremonial tahunan.
“Kita minta nanti Disbudpar melakukan paparan kepada Komisi III, biar jelas konsepnya seperti apa. Jangan hanya sebatas festival atau acara tahunan, tapi harus ada arah besar ke mana kebudayaan dan kepariwisataan kita dibawa,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti rendahnya kesadaran terhadap implementasi regulasi yang sudah disepakati bersama. Dadang mengingatkan kepala dinas yang baru untuk membaca kembali Perda tentang budaya daerah.
“Di situ sudah jelas diatur apa saja yang harus dilakukan, tapi sayangnya tidak dijalankan karena tidak dipahami. Ini yang harus diperbaiki,” pungkas Dadang, menekankan bahwa sektor ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi baru jika dikelola dengan baik dan mendapat dukungan anggaran yang memadai.(*)