kalimantan-tengah

Hutan Kotim Kritis: Sisa Kayu Penyangga Tak Sampai 10 Persen, Ekspansi Korporasi Terus Menekan

Jumat, 19 Desember 2025 | 11:00 WIB
Ilustrasi hutan.

SAMPIT – Kondisi tutupan hutan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) kini berada dalam status lampu merah. Masifnya pembabatan pohon besar untuk alih fungsi lahan oleh korporasi tidak hanya mengancam ekosistem, tetapi mulai memberikan dampak nyata berupa bencana banjir yang dialami masyarakat.

Krisis Luasan Hutan: Hanya Tinggal Status?
Anggota DPRD Kotim, Abdul Kadir, mengungkapkan data yang mengkhawatirkan. Dari total luas wilayah Kotim sebesar 1.554.456 hektare, kawasan hutan yang tersisa kini diklaim hanya tinggal 30 persen—batas minimum yang disyaratkan aturan.

Namun, Kadir meyakini kondisi riil di lapangan jauh lebih buruk.

"Kalau secara status mungkin 30 persen adalah kawasan hutan, tapi saya meyakini sisa hutan yang masih ada kayunya tidak lebih dari 10 persen. Artinya, kita tidak punya lagi kayu sebagai penyangga kehidupan," tegas Abdul Kadir.

Ia menyayangkan adanya 'obral' izin pembukaan lahan yang tidak dibarengi dengan langkah restorasi konkret. Dari usulan 68 ribu hektare lahan kritis untuk dipulihkan pada 2016, pemerintah pusat hanya menyetujui 30 ribu hektare, membuat ruang perlindungan hutan semakin sempit.

Aktivitas pembabatan hutan di Kecamatan Antang Kalang turut menjadi sorotan tajam. Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotim, Hardi P. Hady, menyoroti ekspansi lahan yang diduga dilakukan oleh PT Bintang Sakti Lenggana (BSL).

Warga setempat melaporkan adanya pembukaan hutan yang terus berjalan di wilayah Tumbang Kalang, Kuluk Telawang, dan Sungai Puring. Hardi mempertanyakan sikap tegas Pemkab Kotim terkait status perizinan perusahaan tersebut.

"Jika izinnya sudah dicabut, kenapa ekspansi lahan terus dilakukan? Warga sudah lama menolak karena tidak ada kontribusi bagi masyarakat, kecuali bagi oknum tertentu," ujar Hardi.

Dampak Nyata: Banjir 10 Kali Setahun

Kerusakan hutan di hulu telah mengakibatkan warga di Antang Kalang menderita. Hilangnya daerah resapan air membuat frekuensi banjir meningkat drastis. Misalnya intensitas banjir hingga 5 hingga 10 kali dalam setahun. Lalu ketinggian air mencapai 40–80 sentimeter hingga masuk ke lantai rumah warga.

Hardi memperingatkan agar pemerintah segera bertindak sebelum Kotim mengalami bencana banjir bandang dahsyat seperti yang pernah terjadi di Aceh dan Sumatera.
DPRD Kotim mendesak pemerintah daerah untuk mengevaluasi ketat dan meninjau ulang seluruh perizinan sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Juga minta sikap tegas dimana tidak melakukan pembiaran terhadap pembabatan hutan oleh pengusaha.

Pembangunan Berwawasan Lingkungan: Memastikan kepentingan ekonomi jangka pendek tidak mengorbankan masa depan generasi mendatang.

"Kalau hutan habis, yang rugi bukan hanya kita hari ini, tapi anak cucu kita nanti. Menjaga hutan adalah tanggung jawab bersama," pungkas Abdul Kadir. (*)

Terkini