TANJUNG SELOR – Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) berada di urutan pertama di Indonesia pada garis kemiskinan (GK) per rumah tangga. Nilainya setara dengan Rp 3.468.602 yang dihitung rata-rata lima orang dalam satu keluarga. Posisi kedua DKI Jakarta Rp 3.336.701, ketiga Kepulauan Bangka Belitung Rp 3.287.394.
Sedangkan Provinsi Kaltim Rp 3.158.496 berada di urutan kelima. Sementara garis kemiskinan per rumah tangga terendah, yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan Rp 1.486.793.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltara, Eko Marsoro menyampaikan, garis kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan dalam sebulan. Survei sosial ekonomi tersebut dilakukan pada Maret dan September.
Dan, hasil survei dapat digambarkan pada pola konsumsi masyarakat baik masyarakat miskin dan tidak miskin. Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum atau setara 2100 kalori per kapita setiap hari. Nilai itu dikonversi ke rupiah, baik makanan dan bukan makanan.
“Penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK,” ucap Eko Marsoro, Selasa (15/1).
Dijelaskan, garis makanan dan bukan makanan terdiri dari perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan makanan lainnya. Setiap saat harga bergerak mengikuti inflasi. Sehingga, untuk mengentaskan kemiskinan membutuhkan data inflasi.
Contohnya, di daerah Jawa harga beras Rp 8 ribu dan harga di Kaltara Rp 10 ribu. Tentu level harga sudah berbeda. Hal ini yang cenderung menyebabkan harga di Kaltara tinggi. Agar harga dapat ditekan, ia menyarankan intervensi pemerintah harus dilakukan.
“Bagaimana mungkin kita menurunkan harga jika faktor distribusi tidak terjaga. Untuk menjaga apa yang harus dijamin. Seharusnya, kondisi mulai dari hulu hingga ke hilir terjaga,” jelasnya.
Perbedaan harga terjadi disebabkan masyarakat sendiri. Misal dengan kondisi di Kaltara ketika SPBU menjual BBM ke pengetap, bukan ke konsumen. Hal ini telah membuat harga berbeda. Sedangkan, jika ingin membeli di SPBU BBM sudah habis.
“Membeli secara eceran harus menambah dari harga di SPBU. Ketika biaya naik tentu tidak ada yang mau rugi jadi yang lain ikut dinaikkan. Itu efek domino terjadi,” tegas Eko Marsoro.
Kemudian, barang yang dikonsumsi masyarakat di Kaltara belum mampu diproduksi. Dan harus mendatangkan dari luar daerah. Seperti air mineral dari daerah lain, biaya ke Kaltara mahal. Beda dengan daerah di Jawa karena ada produsen. Sehingga, faktor distribusi jadi lebih murah. Sedangkan di Kaltara tidak ada.
Untuk itu, langkah yang harus dilakukan pemerintah tidak hanya mengendalikan inflasi, tetapi bagaimana mengendalikan level harga sebanding dengan daerah lain.
“Ini membutuhkan waktu tidak bisa sebentar,” bebernya.
Diketahui, jumlah penduduk miskin di Kaltara pada September 2018 sebanyak 49,59 ribu jiwa. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 0,23 persen dibanding pada Maret 2018 dengan jumlah 50,35 ribu jiwa. Dan GK selama Maret 2018 naik sebesar 5,88 persen atau Rp 586.049 menjadi Rp 620.501 pada September 2018 per kapita per bulan. (akz/ana/kpg/kri/k18)