TAMAN Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar) telah diusulkan sebagai lokasi ibu kota negara. Kenyataan itu dinilai Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim tidak akan berdampak banyak pada kegiatan penambangan batu bara di kawasan itu.
“Sepanjang tidak ada keseriusan dari penegak hukum untuk memberantas praktik penambangan ilegal di Tahura, maka itu tidak akan berpengaruh pada perambahan hutan,” ketus Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang.
Diusulkannya Tahura sebagai ibu kota akan mengundang perubahan status kawasan itu. Sebab, dengan menempatkan Tahura sebagai ibu kota, sama halnya dengan menurunkan status Tahura sebagai hutan konservasi. Sebab, kawasan itu akan jadi wilayah perkantoran dan permukiman.
“Ketika Tahura diamini sebagai ibu kota, tetap ada kemunduran. Di Kaltim ini sangat sedikit wilayah hutan yang benar-benar terjaga. Kondisi itu akan dimanfaatkan para penambang ilegal untuk menggarap batu bara di situ,” tuturnya.
Rupang menyebut, pada 2017-2018, Awang Faroek Ishak yang menjabat sebagai gubernur Kaltim kala itu pernah membentuk tim terpadu penataan izin pertambangan. Ketika itu, Faroek pernah berujar, ada 809 izin usaha pertambangan (IUP) yang akan berakhir dan dicabut.
Jika pencabutan itu jadi dilakukan, ada lahan seluas 2,4 juta hektare yang akan kembali ke negara. Semestinya, kata Rupang, lahan itu yang diusulkan sebagai ibu kota. Sebab lahan itu sudah produktif.
“Kenapa bukan itu saja. Dibandingkan harus merusak kawasan Tahura yang jadi aset Kaltim. Tahura itu paru-paru Kaltim. Itu jadi kawasan vital bagi kabupaten/kota di sekitarnya. Kalau dirusak, itu akan mengancam ketersediaan air yang ada di situ,” imbuhnya.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil mengatakan, pembiayaan pemindahan ibu kota negara bakal menggunakan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Kecuali pembangunan istana negara dan bangunan TNI/Polri, akan dilakukan dengan menggunakan APBN.
Perlu diketahui, dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Tim Riset Kaltim Post dengan warga Benua Etam menunjukkan, 44,69 persen responden menyatakan Kaltim layak menjadi ibu kota negara. Sementara yang mengatakan belum layak ada 37,43 persen. Sisanya 17,88 persen menyatakan tidak layak.
Dari 179 responden itu, mereka yang menjawab tidak setuju Kaltim jadi ibu kota negara sebesar 61,45 persen. Sementara yang setuju 38,55 persen. Sejumlah alasan dikemukakan. Namun, mayoritas mereka tidak menginginkan ibu kota berada di Tahura Bukit Soeharto. Alasannya akan merusak hutan dan lingkungan. (*/drh/rom/k16)