Pelajar di Balikpapan yang ditolak masuk SMP negeri karena batas usia belum jelas nasibnya. Pemerintah pusat dan daerah dinilai tak sinkron.
BALIKPAPAN-Nasib Khoirun Juniansyah yang ditolak masuk SMP negeri lantaran kelebihan usia membuat geram wakil Kaltim di Senayan–sebutan Gedung DPR di Jakarta. Diduga nasib serupa juga terjadi terhadap banyak lulusan SD akibat penerapan sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis online.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menjelaskan akar persoalan itu adalah disinformasi dan kurang koordinasi antara aparat pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Terkait Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB diterbitkan pada Desember 2018. Namun, pelaksanaan sosialisasi di daerah baru dilakukan pada Februari 2019. “Ini aturan yang diskriminatif,” kata Hetifah.
Yang disayangkannya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota cenderung kaku menafsirkan peraturan tersebut. Hingga mengeluarkan petunjuk teknis yang memperkuat diskriminasi terhadap lulusan yang punya usia di atas syarat yang ditentukan. “Ini membuat anak berpotensi tak punya kesempatan memperoleh pendidikan yang layak sesuai kemampuannya,” ujar Hetifah.
Padahal bisa saja kasus kelebihan usia pada anak terjadi karena berbagai sebab. Mulai kondisi keluarga si anak, kondisi anak itu sendiri hingga kemampuan anak dalam menerima pelajaran. “Bisa saja sebelumnya ikut orangtua di luar negeri. Atau sakit dan saat sekolah sebelumnya pernah tinggal kelas,” imbuhnya.
Tapi kondisi itu tak lantas menghilangkan hak anak untuk bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Karena itu, perlu ada perbaikan terhadap sistem yang ada saat ini. Hetifah mendorong adanya audit dan upaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Untuk segera mengambil tindakan sebagai solusi agar tak ada korban dari sistem dan teknologi PPDB online ini.
“Harus ada audit. Sebab, terbukti sistem yang seharusnya membantu pelaksanaan PPDB menjadi lebih transparan dan akuntabilitas, justru berpotensi mendiskriminasi serta menghilangkan hak anak,” bebernya.
Sementara itu, anggota DPRD Kaltim Muhammad Adam menjelaskan, jika Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 telah mendapat revisi menjadi Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019. Sebab bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yang menyatakan ujian nasional harus menjadi dasar untuk kenaikan jenjang pendidikan.
“Sekarang tidak ada batas umur. Sebab kita terikut wajib belajar 12 tahun. Aturan sejak 2018 sudah tidak ada pembatasan umur. Kasihan anak-anak yang mungkin waktu SD sempat tidak naik kelas kehilangan kesempatan,” tambah politikus asal Balikpapan itu.
Terpisah, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menyebut, seharusnya Kemendikbud bisa melihat lebih detail persoalan pendidikan di daerah seperti Kaltim. Sehingga lebih solutif dan tidak menghilangkan hak pendidikan anak. “Dengan penetapan zonasi memberikan tekanan lebih kepada Disdikbud baik provinsi dan kabupaten,” kata Beka.
Dengan sistem data pokok pendidikan (dapodik) berlaku secara nasional, kementerian harus membuat tindakan afirmatif. Segera memperbaiki akar masalah dan mampu menyelenggarakan sistem pendidikan yang tidak diskriminatif terkait usia anak. “Kementerian harus segera bertindak,” ucapnya.
Adapun, Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar, Kemendikbud Praptono menyebut, sejatinya pelajar yang kelewat usia masih memungkinkan masuk SMP. Khusus kasus di Balikpapan, dia akan mencari masalahnya. “Segera kami advokasi,” ucapnya singkat.
Sementara itu, kemarin Kaltim Post mendapati satu korban lagi. Seorang pelajar yang enggan namanya dikorankan itu mengaku tak diterima di SMP negeri saat mendaftar PPDB secara online. Usianya saat ini sudah 16 tahun. Sementara sistem untuk SMP hanya menerima pelajar yang usianya 15 tahun.