SAMARINDA–Dari tahun ke tahun, fungsi Tahura Bukit Soeharto sebagai kawasan konservasi terkikis. Aktivitas pertambangan batu bara hingga kebakaran hutan dan lahan adalah pemicunya. Lalu, bagaimana nasib Tahura Bukit Soeharto ketika pusat pemerintahan Indonesia dipindah ke kawasan tersebut?
Peneliti dari Fakultas Kehutanan (Fahutan) Universitas Mulawarman (Unmul) Doktor Rustam mengatakan, secara ekologi, Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto tidak lagi berfungsi maksimal sebagai kawasan konservasi. “Itu catatan pertama,” katanya kepada Kaltim Post, (2/8). Sebab, kawasan tersebut pernah terbakar dua kali. Yakni, pada 1982–1983 dan 1997–1998. Selain itu, Tahura Bukit Soeharto sangat terancam oleh perambahan dan perizinan tambang batu bara, minyak dan gas bumi.
“Bahkan, lebih 100 titik minyak dan gas bumi berada di sana. Kemudian, ada IUP batu bara. Baik di dalam dan di sekitarnya. Sehingga, fungsi (Tahura Bukit Soeharto) secara ekologi tidak maksimal lagi sebagai kawasan konservasi,” ungkapnya. Lanjut dia, indikator kawasan konservasi adalah adanya hewan dan tumbuhan langka yang dipertahankan di kawasan tersebut.
Dia pun menegaskan, Tahura Bukit Soeharto telah kehilangan identitas sebagai kawasan konservasi. “Ketidakmampuan pengelola sebenarnya menjadi masalah di Bukit Soeharto. Namanya kawasan konservasi pasti ada pengelolanya. Tapi, pengelola tidak mampu mengelola,” katanya. Akibatnya, warga pun membangun permukiman. Selanjutnya berkebun dan bertani.
Keadaan diperparah ketika medio 2000-an, kewenangan IUP berada di kabupaten/kota. Sehingga membuat banyak IUP yang keluar di kawasan Tahura Bukit Soeharto. Baik yang berada di sekitar kawasan atau berbatasan langsung dengan Bukit Soeharto. Bahkan, masuk kawasan tahura. “Itu terjadi dan sampai sekarang tidak mampu diatasi. Bahkan, banyak bekas tambang dibiarkan begitu saja di sana. Masih ada potensi batu bara. Besar sekali. Kualitasnya pun nomor satu dengan kalori yang tinggi,” bebernya.
Hal lainnya terkait pemindahan pusat pemerintahan negara ke kawasan tersebut adalah kondisi air. Berdasarkan penelitian pria bergelar doktor itu sejak 1999, di Tahura Bukit Soeharto terdapat tujuh daerah aliran sungai (DAS) dan sub-DAS. Baik yang mengalir ke Sungai Mahakam maupun yang mengalir ke Selat Makassar melalui Sungai Bambangan.
Menurut dia, sub-DAS memiliki debit air relatif kecil. Sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan air baku sebagai ibu kota negara. Untuk itu, mengantisipasi kekurangan air baku, bisa dengan memaksimalkan pasokan dari Sungai Mahakam yang lokasinya tidak jauh. “Sekitar 50 kilometer kan tembus ke Loa Kulu (Kukar). Bisa juga menggunakan air tanah. Jadi, pasokan air sangat memadai. Di banding Kalsel dan Kalteng, Bukit Soeharto lebih baik,” kata dia.
Selain air, Rustam memastikan, kelangsungan tumbuhan maupun hewan di Tahura Bukit Soeharto harus jadi bahasan penting. Misalnya, beruang madu, macan dahan, dan jenis kucing hutan. Hewan tersebut diyakini masih hidup di Bukit Soeharto. Termasuk ulin dan bengkirai. Dia memastikan, tujuh kriteria yang ditetapkan Bappenas untuk ibu kota negara, terjawab di Bukit Soeharto. Bahkan, mencapai 90 persen.
Indikatornya adalah posisi yang strategis dekat dengan Selat Makassar. Kemudian, luas area yang mencapai 60 ribu hektare. Juga, aman dari kebencanaan. “Termasuk dari sisi ketersediaan air dan infrastruktur yang sangat dekat,” katanya. Ditemui terpisah, Rektor Unmul Prof Masjaya mengatakan, materi presentasi Pemprov Kaltim kepada Presiden Joko Widodo terkait ibu kota negara harus dalam. Serta berbeda dengan yang pernah dipaparkan Bappenas sebelumnya.
Secara kriteria, dia menegaskan, Tahura Bukit Soeharto paling unggul untuk dijadikan pusat pemerintahan negara menggantikan DKI Jakarta. Seperti lokasinya harus strategis. Juga,
didukung oleh infrastruktur pendukung. “Tingkat kerawanan sosial juga sangat rendah. Konflik sosialnya tidak ada. Bahkan, kecil kemungkinan terjadi (konflik sosial). Ini kan sama dengan Samarinda. Data itu yang harus betul-betul disampaikan (pemprov), sehingga menjadi penguat,” imbuh rektor Unmul dua periode itu.
Menurut dia, sejarah membuktikan, Kerajaan Kutai sangat terbuka oleh dunia luar. Misalnya, bagaimana Kerajaan Kutai menjadi kerajaan pertama yang tumbuh baik. Bahkan, di Museum Tenggarong yang merupakan keraton kerajaan, banyak benda bersejarah dari luar kerajaan. “Misalnya keris dan gamelan yang jelas berasal dari kerajaan luar Kalimantan,” jelasnya.
Dia menegaskan, hal tersebut menandakan bagian dari hubungan baik kemasyarakatan Kutai dengan masyarakat luar. Jadi, sangat memungkinkan untuk dikunjungi dan didatangi oleh orang luar. “Saya rasa hal seperti ini juga perlu dikuatkan. Kalau kajian ekonomi sudah pasti. Pusat-pusat pertumbuhan baru pasti berkembang secara otomatis,” terang dia.
Ditanya mengenai keterlibatan akademisi Unmul dalam penyusunan materi presentasi ibu kota negara awal pekan depan di Jakarta, Masjaya mengatakan, SDM Unmul sudah sangat dilibatkan. “Apalagi di pemprov ada Pak Zulkarnain dan Abdullah Karim yang merupakan pakar dari Unmul,” beber dia. Meski demikian, dia tetap berharap Bappeda Kaltim melibatkan lebih maksimal lagi peran akademisi Unmul. Khususnya, yang bergelut dengan Tahura Bukit Soeharto. (*/dq/riz/k8)