Universitas Mulawarman (Unmul) sebagai Perguruan Tinggi terbesar di Kalimantan Timur didapati fakta bahwa mahasiswa yang terdaftar didominasi perempuan sebanyak 16.338 dan mahasiswa Laki-laki sebanyak 9.982. Sedangkan jumlah Dosen tetap didominasi laki-laki sebanyak 660 orang sedangkan perempuan sebanyak 512 orang.
Universitas Mulawarman memiliki peran strategis dan tidak dapat diabaikan dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pencapaian tinggi telah diraih Universitas Mulawarman melalui pencapaian Akreditasi A. Namun dalam pencapaian perguruan tinggi dan tantangan yang dihadapi kedepan, bagaimana kiprah perempuan akademisi Universitas Mulawarman? Pertanyaan ini menjadi sangat penting mengingat kemajuan tanpa keterlibatan perempuan secara penuh didalamnya belum dapat dikatakan sebagai kemajuan yang sejati. Dan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan harus membangun system yang memberikan ruang kemajuan bagi perempuan
Nah, guna mengetahui kiprah perempuan akademisi Unmul, Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak (PuSHPA) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) melakukan survey terkait kiprah perempuan akademisi Unmul. Survey yang meliputi responden dari 13 fakultas di Unmul ini didapati bahwa 72,7 responden menganggap perlu muncul kepemimpinan perempuan di Universitas Mulawarman.
“Kepemimpinan perempuan dianggap akan lebih detil dan telaten (49,2 persen), perempuan cerdas dan strategis (20,5persen), lebih enak dan berkomunikasi (15 persen), lalu sabar dan keibuan (10,6 persen) serta tegas dan mengayomi,” kata salah satu tim peneliti Dr. Haris Retno Susmiyati. Dilanjutkannya, dalam hasil survey juga didapati bahwa keberadaan kepemimpinan perempuan bagi mayoritas responden (57,6 persen) tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun responden yang lain memberikan catatan terhadap kepemimpinan perempuan. Misalnya perlu mengatasi penilaian jika pemimpin perempuan dianggap kurang tegas, bertele-tele, kurang menguasai lapangan, dan kurang bisa memandang jauh kedepan. “Nah langkah-langkah kebijakan affirmatif action bagi partisipasi akademisi perempuan perlu dilakukan menurut responden karena secara factual kepemimpinan perempuan di universitas Mulawarman masih minim, yang dipengaruhi karena terbiasa dipimpin laki-laki (40,2%) selain akademisi perempuan tidak ada yang mencalonkan diri untuk memimpin Universitas,” beber Haris Retno.
Untuk diketahui, komposisi perempuan yang menjabat sebagai pimpinan di lingkungan Universitas Mulawarman hanya 79 orang (32,3 persen) dari keseluruhan pejabat sebanyak 244. Namun di level pimpinan Universitas dari 5 pimpinan (Rektor dan Wakil Rektor) tidak ada perempuan yang duduk sebagai pimpinan universitas. Dari hasil survey juga didapati, kiprah perempuan akademisi baik dibidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, responden mayoritas dengan prosentase tinggi 70-80 persen, menilai kiprah perempuan sangat baik dan baik.
Peneliti yang lain, Warkhatun Najidah menjelaskan, perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi merupakan sebagai bagian dari system pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan memperhatikan dan menerapkan ilmu humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan. Prinsip tersebut tidak akan terwujud dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi secara penuh tanpa adanya pelibatan perempuan secara menyeluruh.
“Perempuan di lingkungan Perguruan Tinggi memiliki peran yang strategis dan kedudukan yang setara dengan laki-laki,” katanya. Namun lanjut dia, dalam implementasinya masih ditemukan berbagai kendala, baik yang bersumber dari sistem budaya patriakal yang mengakar kuat dalam sistem sosial kemasyarakatan dan mempengaruhi sitem dan budaya akademik kampus, serta faktor internal perempuan yang menghambat.
Dikatakannya, kemajuan perempuan tidak dapat dilepaskan dari bagaimana bangunan system perguruan tinggi dalam memberikan support bagi kemajuan perempuan. Dari hasil survey, sebanyak 56 persen system perguruan tinggi sangat support kepada kemajuan perempuan. Namun 36,4 persen yang merasa support yang diberikan pada perempuan ini masih biasa saja, dan 7,6 persen masih kurang support atas kemajuan perempuan.
“Sehingga 84,1 persen responden menilai dibutuhkan kebijakan affirmatif action yang mendorong kemajuan kiprah perempuan. Situasi aman bagi perempuan untuk berkiprah di Perguruan Tinggi memerlukan ruang aman, salah satunya terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi, 36,4 persen menilai belum ada penanganan serius atas kasus kekerasan seksual, selain 44,7 persen menganggap penanganan yang sudah dilakukan belum secara maksimal,” tutupnya. (pro)