SAMARINDA–Sejumlah nelayan di Samarinda yang tergabung dalam beberapa Kelompok Usaha Bersama (KUB), mengungkap adanya kejanggalan mengenai jatah bahan bakar bersubsidi dari pemerintah yang semestinya mereka dapatkan.
Kejanggalan itu yakni adanya dugaan kuota solar subsidi yang harusnya diperoleh 300 nelayan resmi di Samarinda. Ini diduga dikebiri jumlahnya, sehingga tidak lagi mencukupi bagi nelayan.
Hal itu diungkapkan Haji Muhammad Ali, ketua KUB Nelayan Samudera Nusantara yang berkedudukan di Kelurahan Masjid, kemarin (19/8).
Ali menjelaskan, sejak enam bulan lalu, dirinya memperoleh data dan informasi yang berbeda dari Dinas Perikanan, terkait jatah solar subsidi yang sudah diatur sesuai dengan jumlah nelayan yang terdaftar.
"Awalnya laporannya 193 ton, namun diklarifikasi lagi menjadi 93 ton. Artinya, ada penyusutan 100 ton. Dan itu kami tidak tahu apa penyebabnya," kata Ali.
Ali menjelaskan, kuota solar subsidi yang diberikan kepada nelayan itu berdasarkan rekomendasi dari Dinas Perikanan, yang mana sebelumnya telah melakukan pengukuran kapal sekaligus kapasitasnya.
"Jadi sudah ditahu itu jatah untuk setiap kapal. Dan itu membelinya pun tidak setiap hari, tapi ditentukan dari jenis kapalnya. Misalnya kapal balap itu sekitar tujuh hari sekali, dan kapal tongkol bisa 15 hari bahkan sampai sebulan sekali," ujar Ali.
Menanggapi apa yang disampaikan Pertamina, terkait kewajiban nelayan untuk melampirkan surat rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Ali menegaskan, untuk 300 nelayan yang terdaftar, tentunya sudah mengantongi rekomendasi tersebut.
"Namun yang menjadi masalah adalah di mana kami bisa membeli solar subsidi itu. Sementara satu-satunya stasiun pengisian bahan bakar bunker (SPBB) di Samarinda sudah tutup,” keluhnya. (oke/kpg/kri/k8)