SAMARINDA–Penyusunan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kaltim masih berproses di DPRD. Permintaan untuk mengakomodasi wilayah non-pertambangan disuarakan. Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan minimnya kawasan lindung yang diakomodasi dalam RTRW tersebut. Di sisi lain, pemprov juga meminta lahan untuk peternakan Kaltim turut diakomodasi lebih besar.
Namun realitanya, alokasi kawasan khusus untuk peternakan masih minim. Hal itu disampaikan Penjabat Sekretaris Provinsi Kaltim Riza Indra Riadi. Dia menjelaskan, hingga saat ini, seluruh sub-sektor bidang pertanian dalam arti luas, dipastikan memiliki kawasan khusus yang secara sah diakui dalam peraturan. Namun, hal ini tidak berlaku bagi sub-sektor peternakan. “Produksi ternak Kaltim masih sedikit karena keterbatasan lahan atau tidak adanya lahan khusus diperuntukkan bagi kegiatan usaha peternakan,” jelas Riza.
Padahal, peternakan memiliki potensi besar di Kaltim. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, Nilai Tukar Petani Peternakan (NTPT) ada di poin sebesar 109,18. Artinya, pemasukan petani peternakan lebih besar dari pengeluarannya. Saat ini, sebut Riza, program pembangunan mini ranch atau kandang penggembalaan mini secara bertahap terus diwujudkan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Kaltim. Harapannya, Kaltim bisa memiliki big atau giant ranch.
Adapun mini ranch yang dibangun saat ini adalah hasil kolaborasi pemerintah dengan kelompok tani masyarakat atau perusahaan. Luasnya sekitar 4–35 hektare.
Maka dari itu, dukungan kebijakan melalui penerbitan peraturan daerah (perda) terkait ketersediaan lahan peternakan diperlukan. Usulan ketersediaan lahan khusus sub-sektor peternakan, berguna untuk memacu produksi populasi ternak. Sebab selama ini, peternakan tak punya lokasi kegiatan peternakan. Bukan lahan khusus ternak, tetapi memanfaatkan lahan-lahan atau kawasan pertanian tanaman pangan, kebun-kebun masyarakat, perkebunan sawit dan eks lahan tambang batu bara maupun kawasan lainnya.
Kondisi ini harus diubah. Karena Kaltim memiliki keunggulan wilayah dan lahan yang potensial untuk kegiatan peternakan. "Jika perkebunan, kelautan dan perikanan, kehutanan hingga pertanian tanaman pangan dan hortikultura, termasuk pertambangan bisa memiliki lahan hingga ribuan bahkan ratusan ribu hektare, maka peternakan pun layak untuk diberikan lahan khusus," paparnya. Sebenarnya, bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap peternakan beriringan dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Kaltim Nomor 17 Tahun 2015 tentang Penataan Pemberian Izin dan Non-Perizinan serta Penyempurnaan Tata Kelola Perijinan di Sektor Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit.
Pada sektor pertambangan, Pasal 6 Ayat 3 Huruf c dijelaskan, perusahaan berkomitmen mendukung program ketahanan pangan (reklamasi untuk tanaman pangan dan sapi). Sektor pertambangan dengan memanfaatkan lahan pascatambang untuk pengembangan peternakan. Sedangkan, pada Pasal 7 Ayat 1 Huruf c, pemberian izin dan nonperizinan perkebunan kelapa sawit dapat diberikan dengan persyaratan. Yaitu berkomitmen terhadap pengembangan integrasi sawit dan sapi bagi tanaman yang telah menghasilkan. Tetapi, hal ini tidak cukup. Pasalnya, produksi sapi masih minim juga. Beberapa waktu lalu, Plt Kepala DPKH Kaltim Munawwar memaparkan, produksi sapi lokal hanya sekitar 27 persen. “Kalau daging unggas kita sudah swasembada,” jelas dia.
Populasi sapi di Kaltim pada pertengahan 2021 hanya sekitar 123 ribu. Padahal, kebutuhan sapi di Kaltim mencapai 650 ribu ekor. Maka dari itu, pengupayaan lahan-lahan yang potensial seperti integrasi sapi sawit, perhutanan sosial, dan lahan eks tambang, diupayakan. Tujuannya, Kaltim bisa mencapai target punya 2 juta sapi. (riz/adv/diskominfokaltim)