SAMARINDA–Peraturan Daerah (Perda) 2/2014 tentang RTRW Samarinda 2014–2034 sudah bersulih rupa dalam regulasi baru yang ditetapkan Pemkot pada 17 Februari 2023. Di beleid anyar yang mengakomodasi rupa pembangunan Samarinda sepanjang 2022–2042, zonasi perumahan kian luas terbentang. Sebaliknya, ruang terbuka hijau (RTH) menyusut dari yang diamanatkan pusat minimal 30 persen dari luas wilayah.
Sebelumnya, pada Perda 2/2014, dituangkan zonasi perumahan hanya teralokasi sebesar 9 hektare, dan terbagi di tiga area dengan kepadatan penduduk, tinggi, sedang, dan rendah. Sementara di regulasi tata ruang baru yang diajukan ke Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (KemenATR/BPN), terdapat 37.584,22 hektare yang diplot untuk jadi ruang permukiman. Dari jumlah itu, ada 37.071,09 hektare yang dialokasikan sebagai perumahan.
Sisanya dibagi untuk fasilitas umum, fasilitas sosial, dan infrastruktur perkantoran. Merujuk UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, perumahan merupakan areal di mana kumpulan rumah, baik di kota atau pedesaan yang dilengkapi sarana, prasarana, dan utilitas umum sebagai upaya mewujudkan rumah layak huni. Soal ini, Wali Kota Samarinda Andi Harun, selepas penetapan revisi RTRW menjadi perda pada 17 Februari lalu menyebutkan, dengan disahkannya RTRW 2022–2042 ini, investasi akan lebih mudah untuk masuk ke daerah. Karena sebelumnya sempat tertahan menunggu regulasi ini terbit.
Dia menegaskan, semua perizinan investasi sudah terintegrasi dalam peta perizinan berskala nasional. Seperti online single submission (OSS) dan one maps policy. Mengingat semua perizinan kini harus berbasis tata ruang yang dialokasikan dan terkoneksi di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. “Sesuai zonasi. Jika zonasinya perindustrian maka tak bisa untuk kegiatan di luar industri. Bahkan kepala daerah sekali pun tak bisa menggunakan diskresi untuk itu,” tegasnya kala itu.
Mengenai merosotnya alokasi ruang untuk RTH yang termakan zonasi permukiman dan perumahan, AH begitu dia disapa, mengatakan, ada kewajiban pengembang untuk mengalokasikan 20 persen dari luasan lahan perumahan harus menjadi RTH privat. Memang, persentase kawasan lindung hanya sebesar 12,22 persen atau 8.756 hektare dan terbagi untuk badan air, kawasan perlindungan setempat, dan RTH sendiri. (selengkapnya lihat grafis).
Untuk diketahui, luas RTH semula dialokasikan sebesar 30.610 hektare. Terdiri dari 16.460,33 hektare untuk RTH publik dan 14.149 untuk RTH privat yang dikelola swasta atau partikelir di Perda 2/2014. Di tata ruang baru, RTH hanya terplot seluas 4.798,34 hektare dan tersebar di 10 kecamatan se-Samarinda. Untuk ini, kata dia, jika area hijau lain, seperti kawasan tanaman pangan, hortikultura, dan hutan produksi tetap ditambahkan dalam persentase itu. “Persentase kawasan lindung yang termasuk pemanfaatan hijau menjadi 28,42 persen,” terangnya.
Penyusunan regulasi tata ruang Samarinda ini, ditegaskannya, bukan seketika hadir seperti polemik yang sempat bergulir. Usulan revisi RTRW sudah diajukan Pemkot Samarinda medio 2018, jauh sebelum dirinya menjabat kepala daerah medio Februari 2021. Kala itu, diketahui, RTRW Samarinda 2014–2034 menuju periode pertama alias jelang lima tahun untuk ditempuh revisi atau tidak. Hadirnya Transmart di lahan eks Lamin Indah jadi salah satu alasan direvisinya RTRW.
Saat itu, diketahui sekitar 6 ribu dari 33.342 meter persegi lahan yang ditujukan untuk pembangunan wahana bermain indoor tersebut bersinggungan dengan RTH yang tergolong hutan kota. Di kemudian hari, wacana pembangunan akhirnya dibatalkan. Selain itu sudah ada perubahan tata kota yang cukup signifikan untuk regulasi lawas direvisi. Dari proses panjang itu, persetujuan substansi dari Kementerian ATR/BPN baru terbit pada 13 Desember 2022. Sejak terbitnya persetujuan itu, ada batas waktu paling lambat tiga bulan untuk mengesahkan RTRW. Syarat itu tertuang dalam PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang.
Dalam aturan ini, khususnya, Pasal 76 hingga Pasal 82, diatur soal RTRW kota. Pasal 82 Ayat 1 misalnya, menjelaskan batas waktu penyusunan paling lambat tiga bulan selepas persetujuan substansi diberikan Kementerian ATR/BPN. Jika dalam batas waktu itu RTRW belum jua disahkan, maka ada perpanjangan 30 hari namun tata ruang itu langsung diambil alih pemerintah pusat lewat persetujuan Presiden RI. “Jadi bukan karena dinamika di internal DPRD. Aturan menyilakan kepala daerah menindaklanjuti jika tak selesai di dewan,” tegasnya.
Sebelumnya, DPRD Samarinda sempat menyoal terbatasnya waktu pembahasan draf RTRW yang ingin direvisi lantaran mereka terbentur reses dan menyoal kesepakatan legislatif dan eksekutif soal pembahasan awal draf aturan ini. RTRW Samarinda 2022–2042 sudah disahkan, namun RTRW Kaltim yang menjadi pijakan untuk kabupaten/kota se-Kaltim belum ditetapkan dan masih menunggu jadwal pengesahan.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RTRW Kaltim Baharuddin Demmu tak menyoal tata ruang Samarinda disahkan lebih dulu. “Sudah ada koordinasi dengan kami,” akunya dikonfirmasi pekan lalu. Pembahasan regulasi tata ruang yang seharusnya bergerak lurus dari pusat ke bawah, provinsi lalu kabupaten/kota, menurutnya tak bisa menjadi dasar menyoal karena PP 21/2021 sudah menegaskan soal tenggat waktu pembahasan RTRW di daerah. Baik provinsi atau kabupaten/kota. “Toh, meski Samarinda (pengesahan RTRW) duluan. Semua tetap dievaluasi ulang ATR/BPN, apakah sudah selaras dengan RTR (rencana tata ruang) nasional,” singkatnya. (riz/k8)
Bayu Rolles