KOMISI IV DPRD Samarinda menyoroti angka 20 persen APBD untuk pendidikan yang belum sepenuhnya untuk peningkatan mutu pendidikan. Terbukti gaji dan tunjangan insentif masih ditopang dari 20 persen APBD untuk pendidikan. Akhirnya masih banyak ditemukan infrastruktur sekolah belum sesuai harapan atau standar.
Ketua Komisi IV DPRD Samarinda Sri Puji Astuti mengatakan, di 2023 dana pendidikan di APBD Samarinda mencapai Rp 800 miliar. Namun, dari angka tersebut, Rp500 miliar dikeluarkan untuk membayar gaji, insentif, dan sertifikasi. Sisanya barulah digunakan untuk pendekatan mutu pendidikan. Padahal dalam perhitungan DPRD Samarinda 2023 ini setidaknya diperlukan Rp 150 miliar untuk peningkatan tunjangan guru honor, membangun sekolah, serta perbaikan fasilitas sekolah.
Masuknya komponen gaji dan sertifikasi guru di dalam APBD tersebut, lanjut dia, memang sulit dihindari. Bahkan APBN sekalipun juga memasukkan komponen tersebut ke dalam dana pendidikan. Di seluruh Indonesia, juga tidak ada daerah yang sepenuhnya memisahkan gaji dan sertifikasi guru di luar 20 persen APBD untuk pendidikan. Mestinya memang harus patuh pada undang-undang yang telah ditetapkan. Sekarang tinggal kebijaksanaan pemerintah untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan menjadi perhatian utama.
Dia menyebut, Wali Kota Samarinda Andi Harun di 2024 mendatang akan memberikan perhatian yang besar kepada peningkatan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru. Komisi IV memberikan atensi besar terhadap perhatian tersebut. Apalagi dalam berbagai kunjungan kerja Komisi IV masih menemukan sekolah menumpang, sekolah mengalami masalah status kepemilikan, bahkan ada surat wakaf atau hibah yang hilang. Akhirnya karena status sekolah belum jelas berpengaruh pada bantuan yang diberikan.
Tentang kualitas pendidikan tersebut, anggota Komisi IV DPRD Samarinda Sani bin Husain menyatakan, ada delapan faktor yang harus diperhatikan dalam peningkatan mutu pendidikan. Namun, mari fokus pada fasilitas pendidikan dan kurikulum. Dari fasilitas pendidikan menyangkut kondisi gedung hingga pembahasan WC. Misalnya apakah semua sekolah di Samarinda sudah mempunyai WC yang memadai, bebas dari bau tak sedap dan pengap, sirkulasi udara yang baik. Banyak sekolah memang mempunyai fasilitas laboratorium, namun apakah isi laboratorium itu sudah standar yang ditetapkan. Jangan sampai laboratorium hanya dipakai untuk tidur siang.
Dari sisi keberadaan sekolah, harus dipastikan akses keamanan. Jangan sampai sekolah susah dijangkau atau melewati daerah konflik. Seperti SMP 1, SMA 1 dan Cordova yang jadi pertemuan arus lalu lintas tiga arah. Akhirnya setiap pagi dan siang terjadi kemacetan yang tidak bisa dihindarkan. Penempatan sekolah di situ mestinya diperhitungkan sejak awal.
"Saya menyaksikan sendiri bagaimana kemacetan di kawasan tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Samarinda memang harus memperhatikan kenyamanan sekolah dari sisi kemudahan akses. Sekolah juga harus punya fasilitas standar, sehingga anak-anak bisa belajar dengan tenang aman dan nyaman," ucapnya. (adv/waz/k16)