PYONGYANG - Peluang Korea Utara (Korut) untuk bisa bersatu dengan Korea Selatan (Korsel) kian tertutup. Majelis Rakyat Tertinggi Korut (SPA) memutuskan bahwa reunifikasi dengan Korsel tidak akan pernah bisa dicapai.
Pyongyang juga menghapuskan lembaga-lembaga yang mengawasi kerja sama dan reunifikasi dengan Seoul. Pada awal tahun, Korut sudah mendeklarasikan bahwa mereka mengakhiri upaya rekonsiliasi dengan Korsel.
’’Dua negara yang paling bermusuhan, yang sedang berperang, kini berada dalam konfrontasi akut di Semenanjung Korea,’’ bunyi putusan SPA seperti dikutip Agence France-Presse.
Pemimpin Korut Kim Jong-un menegaskan pihaknya tidak akan mengakui perbatasan maritim de facto kedua negara di Laut Kuning atau yang biasa disebut dengan Garis Batas Utara (NLL). Garis tersebut ditetapkan oleh Komando PBB pada 1953 namun tidak termuat dalam Perjanjian Gencatan Senjata Korea.
Kantor berita Korut KCNA mengungkap bahwa Jong-un juga menyerukan perubahan konstitusi yang memungkinkan negaranya menduduki Korsel dalam perang. Draf langkah-langkah hukum baru itu juga bakal mendefinisikan Korsel sebagai negara yang paling bermusuhan dengan Korut.
’’Menurut pendapat saya, kita dapat merinci dalam konstitusi kita masalah pendudukan, penaklukan, dan reklamasi sepenuhnya Republik Korea (Korsel, Red) dan mencaploknya sebagai bagian dari wilayah Republik kita jika terjadi perang di semenanjung Korea,’’ ujarnya dalam pidato yang disampaikan di Majelis Rakyat Tertinggi Korut Senin (15/1). ’’Jika Republik Korea melanggar 0,001 mili meter wilayah darat, udara, dan perairan kami, itu akan dianggap sebagai provokasi perang,’’ tambahnya.
Baik Korut maupun Korsel sama-sama mengklaim kedaulatan atas seluruh semenanjung Korea. Ketika Perang Korea berakhir pada 1953, kedua negara statusnya bukan berdamai melainkan gencatan senjata. Sampai saat ini, hubungan diplomatik dua negara ditangani oleh Kementerian Unifikasi Seoul dan Komite Reunifikasi Damai Pyongyang.
Komite Reunifikasi Damai Pyongyang ini menjadi salah satu lembaga yang dinyatakan dihapus oleh Majelis Rakyat Tertinggi Korut. Jong-un juga berniat untuk memindahkan monumen Monumen Piagam Tiga Poin Reunifikasi Nasional atau yang biasa disebut Lengkung Reunifikasi. Menurutnya ia merusak pemandangan.
Monumen yang dibangun pada 2001 itu adalah simbol proposal reunifikasi Korea yang diajukan oleh Kim Il Sung, kakek Kim Jong-un. Monumen itu menggambarkan kemungkinan reunifikasi Semenanjung Korea
Presiden Korsel Yoon Suk Yeol merespon sikap Jong-un. Dia mengatakan kepada kabinetnya bahwa jika Pyongyang yang mempunyai senjata nuklir melakukan provokasi, Korsel akan membalas dengan respons yang berkali-kali lebih kuat.
Keluarga Kim, dimulai dengan Kim Il Sung, telah memerintah Korea Utara sejak berdirinya negara tersebut pasca Perang Dunia II pada tahun 1948. Peneliti di Institut Unifikasi Nasional Korea Cho Han-bum memaparkan bahwa sistem di Korut telah lama didasarkan pada gagasan reunifikasi. Namun kini Kim Jong-un justru berusaha menyangkal semua upaya pendahulunya. Hal senada diungkapkan oleh Jeong Eun-mee, peneliti lainnya di Institut Unifikasi Nasional Korea.
’’Pidato itu menunjukkan bahwa Kim Jong-un membangun caranya sendiri untuk melakukan unifikasi berdasarkan kekuasaan, melanggar warisan Kim Il-sung dan Kim Jong-il. Pembongkaran monumen secara simbolis menunjukkan hal tersebut,’’ ujar Jeong Eun-mee.
Salah satu bagian dari tiga piagam Kim Jong-il dan prinsip yang diperkenalkan oleh Kim Il-sung ke dalam kebijakan Korut pada tahun 1970an adalah bahwa reunifikasi nasional harus dicapai dengan cara damai tanpa menggunakan senjata. (sha/bay)