Kaltim memang jadi daerah sebagai penyumbang pendapatan negara terbesar dari sektor batu bara. Meski banyak yang berizin, nyatanya, kegiatan tak berizin juga tumbuh subur di Bumi Etam. Tidak hanya di Samarinda, beberapa daerah tetangga ikut serta jadi daerah dikeruknya emas hitam.
MASIFNYA praktik ilegal pengerukan batu bara tentunya berpengaruh terhadap pendapat daerah. Pun dengan alur pengangkutan. Tidak hanya di darat, rupanya yang “ditabrak” secara aturan, para oknum pelakunya juga memanfaatkan terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS) atau jetty, untuk memuluskan bisnis ilegal tanpa harus bayar pajak.
Harian ini mencoba mengamati dan menelusuri di beberapa kawasan. Menjelajahi alur Sungai Mahakam, mulai Samarinda sampai mengarah ke kawasan hulu, ada sejumlah jetty yang memang biasa digunakan memuat hasil olahan batu bara ke tongkang. Namun, dari belasan jetty yang terpantau, ada saja yang janggal di kawasan Kutai Kartanegara. Tepatnya di Kecamatan Loa Kulu. Kawasan itu terdapat jetty tak memiliki nama dan aktivitasnya tidak seperti jetty lainnya yang menggunakan mesin besar yang langsung jatuh ke tongkang.
Namun, hanya menggunakan ekskavator kecil. Salah satunya berada di kawasan Pal 9, Desa Rempanga, Kukar. Bahwa dari keterangan yang ada, sempat disebutkan kawasan itu tidak berizin oleh KSOP Samarinda. Saat itu masyarakat disarankan membuat laporan ke aparat penegak hukum, karena KSOP tidak memiliki wewenang melakukan penindakan TUKS ilegal. “Kami hanya menanyakan izin jika ada kegiatan bongkar muat. Jika tidak ada izin, kami suruh keluar,” ucap pegawai KSOP Samarinda pada Mei 2023 kala itu.
KSOP menegaskan, TUKS resmi punya akun untuk memberikan persetujuan. Kapal yang ingin sandar di terminal harus meminta izin terlebih dahulu. TUKS ilegal dipastikan tidak memiliki akun. Jadi, semua permohonan yang masuk ke KSOP adalah terminal yang telah memiliki izin atau terdaftar.
Soal kegiatan TUKS ilegal, Koordinator Inspektur Tambang Kaltim Djulson Kapuangan menyebut, TUKS ilegal bukan berada di ranah jajarannya. Namun, dia memastikan, jika batu bara tersebut ilegal, sudah dipastikan tidak akan bisa berlayar keluar dan terjadi transaksi jual-beli. "Kalau TUKS, kami tidak mengecek. Kalau dari ilegal yang jelas tidak bisa," tegasnya.
Sebelum memasuki jetty, batu bara ilegal juga kerap menggunakan jalan umum untuk aktivitas hauling. Seperti yang dipantau di salah satu ruas jalan yang rusak di Kukar dan diduga akibat aktivitas tambang ilegal. Yaitu Jalan Desa Rapak Lambur, Kecamatan Tenggarong, Kukar.
Panjang jalan yang rusak sekitar 50–60 meter berada di RT 10, dan merupakan akses salah satu jalan alternatif warga dan berdekatan dengan wilayah pertambangan ilegal itu. “Jalannya kecil saja, ambruknya jalan itu diduga akibat penambang yang sebelumnya, mereka tidak meratakan tanah itu,” ucap Kepala Desa Rapak Lambur Muhammad Yusuf, Senin (15/1) lalu.
Dulu, memang ada beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di desa tersebut, baik legal maupun ilegal. Bahkan ada jalan hauling bekas aktivitas batu bara PT Tanito. Sekarang, tersisa empat perusahaan batu bara yang menambang di Rapak Lambur. "Kami sudah panggil pihak perusahaan untuk meminta pertanggungjawaban agar jalan yang putus diperbaiki, dan mereka bersedia bertanggung jawab," ungkapnya.
Rencananya, jalan tersebut diratakan kembali dengan cara menutup lubang. Ia belum bisa memastikan perbaikan akan selesai, namun perusahaan sudah diminta merampungkan perbaikan secepatnya. “Mereka mau bertanggung jawab dan mau memperbaiki. Untuk jalan itu dalam proses perbaikan, karena itu akses masyarakat. Saya minta cepat diperbaiki,” tegasnya. (timkp)