Mega proyek pembangunan IKN yang ditampilkan selalu terkesan aman dan lancar. Itu jauh berbeda dengan kondisi di lapangan. Ada banyak hal belum mendapat kejelasan. Seperti soal pembebasan lahan.
Kali ini untuk Tol IKN Segmen 3A2. Proyek strategis nasional (PSN) tidak boleh terhambat. Pemerintah menggunakan sistem konsiyasi sebagai opsi pengadaan tanah dengan dalih untuk kepentingan negara.
Sementara di satu sisi, konsinyasi seperti cara halus merebut tanah milik rakyat secara legal. Lagi-lagi warga yang menjadi korban. Aset mereka yang sudah dijaga, tiba-tiba dirampas melalui konsinyasi pengadaan tanah.
Pemerintah membangun Tol IKN untuk memudahkan konektivitas menuju Ibu Kota Nusantara (IKN). Kegiatan ini menjadi perhatian dan fokus program Tahun Anggaran 2025 sesuai rencana kerja pemerintah (RKP) 2025.
Saat rapat kerja bersama Komisi V DPR RI, Juni lalu. Kala itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyebutkan, kebijakan belanja bidang infrastruktur pada TA 2025 terdiri dari beberapa poin.
Termasuk mendukung pembangunan PSN seperti IKN. Rincian rencana kerja Kementerian PUPR pada tahuh depan meliputi kegiatan yang mendukung IKN. Di antaranya pembangunan jalan di dalam kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP).
Kemudian Jalan Tol IKN, dan Jembatan Pulau Balang. Kini salah satu yang berdampak pada warga yakni Tol IKN Segmen 3A2 yang turut berdampak pada warga Kota Minyak (sebutan Balikpapan).
Ruas tol ini menghubungkan Karang Joang - Kaltim Kariangau Terminal (KKT) dengan panjang 13,4 Kilometer. Proyek ini dibangun dalam kerja sama operasi (KSO) antara Adhi Karya, Hutama Karya, Nindya Karya, dan Brantas Abipraya.
Tol IKN Segmen 3A2 hingga kini menimbulkan polemik dengan masyarakat. Total warga RT 43 yang mendapat pembebasan lahan sebesar 77 KK atau persil.
Namun empat warga belum mendapat pembebasan lahan dan hingga kini tidak tersentuh.
Mereka meminta kontraktor tidak menggarap sebelum proses pembebasan rampung. Seperti kisah Suhardi hingga saat ini belum memiliki kejelasan atas nasib lahannya. Ada beberapa kejanggalan yang dialami selama proses pembebasan tiga tahun terakhir.
Pertama nilai appraisal yang ditawarkan jauh dari harga pasar. Suhardi bercerita, lahan di sekitar mereka dihargai sebesar Rp 940 ribu per meter persegi oleh tim penilai. Sedangkan milik Suhardi hanya Rp 400 ribu per meter.
Padahal posisi lahan berada di tengah lintasan tol. Kemudian semua lahan satu bidang saja dan legalitas kepemilikan sama. Sebab semula tanah kavling. Dia mengaku tidak mendapat penjelasan mengapa ada perbedaan nilai tersebut.
Walhasil karena tidak setuju dengan nilai appraisal tersebut, lahan Suhardi ditinggalkan begitu saja. Mereka tidak pernah mendapat tawaran atau komunikasi setelah menolak harga awal tersebut.
“Saya minta keadilan, bukan pengadilan,” katanya saat diwawancara Senin (16/12). Kejanggalan lain, luas lahan yang dihitung tim penilai kurang dari luas sesungguhnya. Dalam IMTN, lahan milik Suhardi seluas 1.612 meter persegi.