Sedangkan tim appraisal hanya menghitung 1.554 meter persegi. Artinya berkurang 58 meter persegi. Namun sebaliknya, ada pula lahan yang justru dilebihkan dari luas sesungguhnya.
“Mereka diminta dengan dokumen penguasaan fisik. Sementara kami tidak ada surat penguasaan fisik,” imbuhnya. Suhardi dan warga lain mencoba menanyakan kelanjutan pembebasan lahan. Namun tidak ada yang bisa menjawab. “Tidak ada jawaban sampai sekarang,” ucapnya.
Sejak 2021, Suhardi merasa masih digantung tanpa kejelasan. Dia bersikeras mengingatkan agar kontraktor tidak menyentuh lahannya.
Meski lahan di sekitar Suhardi sebagian besar sudah digarap. Baik land clearing hingga pemancangan paku bumi untuk Tol IKN Segmen 3A2. “Saya minta kontraktor stop jangan garap lahan saya kalau saya belum dibayar,” tegasnya.
Menurutnya permintaan tidak muluk-muluk atau neko. Melainkan hanya keadilan agar mendapat nilai pembebasan lahan yang lain. Dia tidak terima jika harus melalui proses pengadilan yang disebut konsinyasi.
“Salah saya apa, surat-surat jelas bukan tumpang tindih. Ini logika tidak masuk akal. Saya bukan orang bodoh,” katanya. Apalagi Suhardi merasa memiliki legalitas jelas. Menurutnya adil jika lahan yang dititipkan ke pengadilan memang lahan bermasalah.
Misalnya legalitas dokumen tidak jelas atau tumpang tindih alias sengketa lahan. Konyol apabila harus melalui persidangan. Namun semua prosedur tetap dia lalui. Suhardi sudah ke Pengadilan Negeri Balikpapan sekitar Juli 2024.
Masuk dalam ruang sidang, hakim bertanya apa masalah atau kendala pembebasan lahan. Dia pun tidak basa-basi, langsung mengatakan ingin mendapatkan nilai pembebasan lahan yang sama dengan lahan di sekitarnya. “Itu pun kita berempat masuk bersama ke ruang sidang, tidak sampai 10 menit sudah diminta keluar,” tuturnya. Waktu itu sempat ada pemanggilan dua kali di kelurahan. Dia disodorkan berkas tapi isinya bukan lahan milik sendiri.
Dia merasa ada upaya mengecoh. Ada lahan atas nama Sunardi, tapi lokasi bidang berbeda. “Berkas kami tidak ada. Tapi kan punya kami sudah terdaftar,” sebutnya. Pihaknya sudah sangat teliti. Ada berkas atas nama Sunardi, tapi alamat berbeda.
Berharap Pemerintah Pusat Dengar Masalah Ini
Hal serupa juga dialami warga lainnya, Ardi. Tanahnya seluas 761 meter persegi mendapat tawaran pembebasan lahan dengan nilai Rp 400 ribu per meter. Termasuk yang awal diajak saat ada sosialisasi atau penawaran pembebasan lahan.
Kali pertama bertemu 2021, Ardi tegas menolak nilai tersebut.
Menurutnya jangankan bisa untung atau dapat harga sepadan. Tapi malah rugi. Sementara pada panggilan kedua dengan pemilik lahan lain, nilai tawaran menjadi Rp 940 ribu per meter. “Kami ditinggal dan dibiarkan saja. Sekarang kami dipaksa konsinyasi,” imbuhnya. Ardi tak senang karena saat mulai proses sosialisasi, dia kerap mendapat penjelasan jika menolak nilai maka ada embel-embel hukum dan pengadilan.
Padahal warga tidak pernah mempersulit. Sejak awal sudah menerima penetapan lokasi ini menjadi area pembangunan jalan tol IKN Segmen 3A2. “Kami hanya ingin nilai ganti rugi sama dengan yang lain. Kenapa ada permainan dan dibedakan,” sebutnya.
Ardi menangkap beberapa kali pertemuan, warga yang menolak nilai tawaran disarankan mengajukan gugatan ke pengadilan atas nilai ganti rugi. Baginya itu semakin tidak akal.
Menurutnya untuk apa menggugat tanah milik sendiri yang status hukum tidak pernah memiliki masalah. Kecuali masalah lahan yang tumpang tindih, maka perlu pembuktian. “Ini kan masalah pembayaran saja. Kami minta semua sama nilainya,” ujarnya.
Semua kompak menyatakan tidak ada yang mau membuat gugatan. Ardi juga belajar dari berapa kasus serupa di wilayah tersebut, mereka yang menggugat malah semakin tidak jelas dan dirugikan. “Saya sudah terlalu jauh melangkah, jadi apa saja saya akan tempuh. Saya tidak mau menyerah di tengah jalan,” bebernya. Nyatanya hingga kini belum ada juga kejelasan. Padahal proyek sudah berjalan.
Dia berharap secepatnya ada titik terang. Namun bukan Rp 400 ribu per meter. “Nilai segitu kami sudah tidak bisa mencari kavling pengganti. Wilayah sekitar sini dalam NJOP sudah Rp 1,2 juta per meter,” tuturnya.
Hingga kini belum ada kabar terbaru, lahan miliknya juga belum tersentuh proyek. Tidak ada koordinasi soal harga lagi. “Pengadilan seperti mengembalikan berkas kita karena dilihat hanya masalah harga dan tidak ada yang bisa diproses,” tuturnya.
Terakhir kali Pengadilan Negeri Balikpapan memanggil sekitar lima bulan lalu.
Mereka menyerahkan kepada Kementerian PUPR sebagai pemilik kewenangan ganti rugi pembebasan lahan.
Warga tidak pernah komunikasi lagi dengan Kementerian PUPR. Selama ini yang pernah memanggil hanya dari BPN, terakhir pada Oktober. Sayangnya pertemuan juga tidak membuahkan perubahan hasil atau nominal ganti rugi. “Mereka hanya membujuk agar kami terima usulan ganti rugi sesuai perhitungan tim appraisal. Sementara kita bertahan punya dasar karena merasa rugi,” ungkapnya. Termasuk upaya melakukan sanggahan, tapi tidak ada hasil perubahan harga.
Ardi berharap satu-satunya solusi bagaimana masalah ini bisa terekspose dan terdengar sampai pemerintah pusat. Terlebih kabarnya Presiden Prabowo Subianto akan meresmikan jalan tol IKN dalam waktu dekat.
Masalah utama sekarang terkendala akses ke pusat. Selama ini proyek jalan tol terkesan adem ayem saja. Dia dan warga lainnya sekarang hanya bisa bertahan. “Selama tidak ada pencairan tidak boleh menyentuh lahan,” tuturnya.