BANJARMASIN - Raperda Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol masih menggantung. Hingga kini, revisi Perda No 17 Tahun 2012 itu belum juga disahkan.
Ketua Komisi I DPRD Banjarmasin, Suyato menyebut, pihaknya bergantung kepada pemko. “Kami belum tahu apakah peraturan ini dilanjutkan atau tidak. Ini kewenangan pemko,” sebut politikus PDI Perjuangan itu.
Padahal revisi perda itu tuntas dibahas tahun lalu. Juga sudah difinalisasi. Bahkan nyaris disahkan pada paripurna penutup tahun 2019.
Kala itu, Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina meminta agar pengesahan revisi perda tersebut ditunda. Tepat sebelum paripurna digelar.
Alasan Ibnu sederhana. Dia tak ingin perda itu membuka polemik baru. Apalagi di Banjarmasin, urusan miras tergolong sensitif di tengah masyarakat.
Pihaknya juga ingin mengkaji lebih dalam soal perda tersebut. Sehingga benar-benar bisa diterapkan maksimal di kota ini.
Hanya saja, saat ini DPRD bertanya-tanya. Soal kejelasan nasib raperda tersebut. Mengingat, saat menggodoknya menggunakan APBD.
“Kami meminta pemko serius menangani permasalahan minol. Jadi perda ini dilanjutkan atau bagaimana,” tanyanya.
Menurut Suyato, keberadaan perda ini sangat penting. Untuk mengatur dan mempersempit ruang peredaran miras di Kota Seribu Sungai. Karena isinya begitu tegas.
Isinya membahas retribusi miras. Yang sebelumnya berkisar Rp100 juta dinaikkan hingga menjadi Rp300 juta. Ketentuan itu dianggap efektif mempersulit pengusaha untuk menjualnya.
Selain itu, juga mengatur durasi. Di mana cuma memperbolehkan supermarket dan hypermarket menjualnya dalam waktu sejam. Dimulai Pukul 23.00 hingga 00.00 Wita.
“Pemko bisa lebih leluasa dalam mengambil kebijakan dengan adanya perda itu,” pungkasnya. (nur/fud/ema)