kriminal

Kasus Korupsi RMU di PPU, JPU KPK Heran Firly Terlalu Aktif di PPU 

Kamis, 16 Mei 2024 | 08:46 WIB
ilustrasi hukum

 

 

PROYEK rice milling unit (RMU) di Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), berkelindan dengan nama Muhammad Umry Hazfirdauzy alias Firly. Mantan staf ahli bupati PPU bidang investasi dan ekonomi pembangunan itu, disebut-sebut jadi salah satu orang yang aktif mengawal penyusunan regulasi agar proyek itu terealisasi. Termasuk pengalihan pengerjaan proyek tersebut ke Perusahaan Umum Daerah Penajam Benuo Taka (PBT) lewat penyertaan modal.

Firly pun membantah hal tersebut ketika diperiksa dalam perkara korupsi penyertaan modal yang menyeret mantan bupati PPU, Abdul Gafur Mas`ud (AGM) di Pengadilan Tipikor Samarinda, Selasa (14/5). Dia menyebut dirinya hanyalah eksekutor dari gagasan yang diajukan bupati. Pun demikian tentang skema perumusan RMU yang dialihkan ke PBT. “RMU itu berangkat dari gagasan bupati, Pak AGM, yang ingin membangun industri di bidang pangan di PPU,” ucapnya ketika bersaksi.

Gagasan itu disampaikan AGM beberapa bulan selepas dirinya dilantik, dalam rentang akhir 2018–awal 2019. Bentuk industrinya pabrik penggilingan padi atau RMU. Nah, Firly mengaku memang dirinyalah yang menjadi teman diskusi membahas wacana industri pangan tersebut. Berselang kemudian, ada fokus grup diskusi yang membahas soal pengembangan kawasan pertanian di Dinas Pertanian (Distan) PPU dan kebetulan dirinyalah yang hadir mewakili bupati.

Hasil diskusi itu selaras dengan wacana yang sempat didiskusikan dan disampaikannya ke AGM. Instruksi untuk mengawal perumusan proyek itu langsung diberikan AGM ke dirinya. “Dikawal itu, sampai jadi,” katanya mengulangi permintaan AGM kala itu. Tak sampai di situ, dia pun mengaku diminta AGM untuk menghitung dan menyusun kajian apa saja yang dibutuhkan. Termasuk syarat untuk menggeser pengerjaan proyek itu dan operasionalnya nanti ketika resmi terbangun ke PBT.

Babulu sebagai lokasi RMU pun, lanjut dia menerangkan, AGM-lah yang menentukan dengan alasan jaraknya yang dekat dengan Paser. “Apalagi di perbatasan Paser juga banyak pertanian,” tuturnya. AGM pun mengarahkannya untuk bertemu dengan seseorang bernama Iqbal untuk membahas lahan yang direncanakan menjadi area pembangunan RMU. Penuntut umum KPK yang menghadirkannya pun bertanya siapa Iqbal ini.

“Nama lengkap atau nama panggilan. Saksi kan namanya panjang, panggilannya Firly,” tanya Jaksa KPK. Namun, Firly mengaku tak tahu nama pasti orang tersebut. “Saya hanya tahu namanya Iqbal, Pak,” jawabnya. Soal cawe-cawenya dalam perumusan studi kelayakan atau feasibility study (FS) yang dibuat Ahmad Zaini, peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman pun dibantahnya. Sebelumnya, ketika Ahmad Zaini diperiksa di persidangan pada 7 Mei lalu, menyebutkan jika Firly memintanya menyelipkan pembahasan dalam FS yang disusun.

Padahal, kerja sama Faperta Unmul dengan Distan PPU itu merumuskan kebijakan makro pengembangan kawasan pertanian. Tidak mengerucut ke RMU. “Bukan menuangkan RMU dalam kajian itu, saya minta review kajian itu. Karena yang diinginkan bupati saat itu pengembangan kawasan industri berbasis padi atau pertanian. Bukan pengembangan kawasan berbasis padi seperti yang disusun saat itu,” sanggahnya. Estimasi awal kebutuhan RMU sebesar Rp 20 miliar pun diakuinya memang berangkat dari perhitungannya. Tapi itu hanya usulan sementara.

Hasil mitigasi lebih lanjut mengungkap untuk membeli peralatan yang dibutuhkan pabrik itu mengacu harga dolar Amerika. Ditambah, kala itu pandemi Covid-19 mulai merebak di Indonesia. “Makanya sempat berubah jadi Rp 26,8 miliar,” tuturnya. Soal usulan pembangunan proyek itu digeser ke PBT lewat penyertaan modal, sebut dia, sepenuhnya dihandel Heriyanto, direktur PBT yang juga jadi terpidana dalam kasus ini. keterangannya ini bertolak belakang dengan kesaksian Heriyanto di persidangan sebelumnya yang menyebut jika semua itu diurus Firly, Heriyanto hanya mendampingi.

Hal ini pun kembali dibantah Firly. Menurut dia, semua tahapan dari gagasan bupati itu sudah disampaikannya ke Heriyanto. Penuntut umum KPK pun merasa janggal dengan kesaksiannya mengingat dirinya teramat aktif dalam semua proses administrasi melahirkan RMU tersebut. “Kenapa saksi kok aktif betul di administrasi proyek ini,” tanya jaksa. Firly mengaku dirinya hanya menjalankan perintah yang diberikan bupati saat itu. Selain Firly, jaksa KPK menghadirkan saksi lain. Mereka Dwi Mega Yanti dan Putri Novita Angel.

Kedua orang ini merupakan pegawai di Perumda Penajam Benuo Taka Energi (PBTE). Dari keterangan Dwi, modal yang didapat PBTE pada 2021 sekitar Rp 3,6 miliar dan dirinyalah yang mencatat arus keluar-masuk kas perusahaan. Beberapa uang mengalir untuk operasional kantor dan sisanya, ada yang mengarah ke bupati. Seperti insentif kuasa pemilik modal PBTE yang notabene bupati PPU kala itu, AGM. “Saat masuk rekening memang dipecah tiga sama Pak Baharun Genda (Direktur PBTE). Tapi dia semua yang pegang kendali. Saya hanya catat,” akunya.

Selain insentif, ada pula uang yang dikeluarkan dengan nomenklatur peminjaman bupati. “Tapi saya enggak tahu benar atau tidak. Karena semua pencatatan bersumber dari keterangan Pak Genda,” lanjutnya. Medio Desember 2021, dia bersama Putri diminta Baharun Genda untuk menagih pinjaman tersebut ke AGM. Keduanya didampingi Durajat, Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Kabupaten PPU menemui AGM di kediamannya di Balikpapan. Tapi, saat dikonfirmasi AGM membantah pernah meminjam uang yang bersumber dari modal PBTE tersebut.

“Saat itu bupati ngomong itu. Jadi kami langsung pulang,” singkatnya. Selepas saksi-saksi ini diperiksa, persidangan bakal kembali berlanjut pada 21 Mei mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi lain yang dihadirkan KPK. (ryu/riz/k8)

Halaman:

Terkini