Tren politik yang berkaitan dengan keterlibatan keluarga di Kaltim adalah duplikasi dan terjadi pula di daerah lain di Indonesia. Praktik-praktik yang disebut politik dinasti itu merupakan hal yang lumrah terjadi. Bahkan dipercontohkan di level nasional.
“Misal Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) yang ‘menaikkan’ anaknya menjadi wali kota Solo, ‘menjadikan’ menantunya di Medan. Jauh sebelumnya ada dinasti Ratu Atut di Banten. Dan di Kaltim pun pernah terjadi, seperti sosok Syaukani (mantan bupati Kukar Syaukani Hasan Rais) di Kukar yang menurunkan trahnya ke Rita (mantan bupati Kukar Rita Widyasari),” ujar pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Sonny Sudiar, Jumat (3/5).
Baca Juga: Melawan Stigma, Ini Daftar Dinasti Politik di Kaltim...
Meski bukan diwariskan secara langsung layaknya sebuah sistem monarki, namun politik dinasti yang dipraktikkan keluarga politikus di Indonesia termasuk di Kaltim, lanjut Sonny adalah bentuk melanggengkan kekuasaan. Dengan tujuan memiliki kepentingan khusus. Karena biasanya politikus selain sebagai pengendali pemerintahan, biasanya juga memiliki latar belakang usaha.
“Dengan memiliki kekuasaan di pemerintahan, maka seseorang bisa mengamankan kepastian berusaha yang dia miliki. Dalam contoh dinasti politik, maka keluarga ini bisa mengambil keuntungan dalam kepentingan bisnis mereka. Apalagi pemerintahan memiliki perputaran yang cepat di sisi kapital. Sehingga orang yang menanamkan modal di politik, itu break even point-nya lebih cepat dibandingkan jika berbisnis murni,” jelasnya.
Menurutnya, jika ditarik ke budaya politik, politik dinasti bukan hal yang asing. Karena asalnya dulu, Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan merupakan daerah-daerah yang dikuasai kerajaan. Di mana dengan sistem monarki saat itu, maka halal untuk menurunkan kekuasaan kepada anggota keluarga untuk menjadi penguasa selanjutnya.
“Jadi kalau ini disebut sebagai budaya politik kita, ya iya. Dan aturan ketatanegaraan hingga regulasi kita tidak ada yang melarang politik dinasti ini. Namun pada era demokrasi saat ini, lebih kepada etika. Memang beberapa kali sering disinggung bahkan hingga MK. Dan dalam perdebatannya tidak ada regulasi yang melarang. Karena itu yang sering diserang di politik dinasti adalah di sisi etika dan moral,” paparnya.
Karena menurutnya, yang dikhawatirkan dengan terbentuknya dinasti politik dalam sebuah tata pemerintahan adalah lahirnya sebuah perilaku koruptif. Hingga penyalahgunaan kewenangan yang menguntungkan kelompok dan keluarga atau merugikan kelompok lain hingga pada arah kerugian dalam pengambil keputusan publik.
“Contoh penyalahgunaan kewenangan tampak dua tahun lalu ketika pelengseran Pak Makmur HAPK dari kursi ketua DPRD Kaltim. Saya menganggap apa yang dilakukan Golkar yang diketuai Rudy Mas’ud dengan menggantikan Pak Makmur dengan kakaknya, Hasanuddin Mas’ud adalah sesuatu proses yang inkonstitusional. Karena tidak memenuhi tiga syarat bisa dilakukannya PAW (penggantian antarwaktu),” ucapnya.
Meski dalam praktiknya, para elite politik berkelit terbentuknya trah dalam pemerintahan adalah proses alami demokrasi, namun anggapan negatif tetap akan muncul di masyarakat. Karena kelompok atau keluarga tersebut dianggap tetap ingin melanggengkan kekuasaan dan tidak rela kekuasaan tersebut beralih ke lainnya.
“Jika politik dinasti subur, kecenderungan menabrak aturan tinggi. Masyarakat juga akan rawan dirugikan, namun baru akan berteriak ketika politik dinasti ini sudah masuk ke ranah mengancam kesejahteraan dan pemberdayaan mereka,” tutur dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul itu.
Namun sebaliknya, jika politik dinasti itu bisa “memenangkan” hati masyarakat, Sonny menyebut maka dinasti tersebut akan langgeng bahkan dicintai oleh rakyat. Dirinya mencontoh kasus di Kukar. Di mana hingga kini baik Syaukani maupun Rita Widyasari masih memiliki tempat di hati banyak pendukungnya. Karena merasakan langsung dan mendapat bagian dari proses dari politik dinasti.
“Jadi, meski pejabat-pejabat tersebut melakukan korupsi, namun pendukungnya tidak akan beralih karena tidak merasa dirugikan. Padahal kalau diselisik lebih dalam, harusnya mereka protes. Karena politik dinasti merupakan bentuk melanggengkan kekuasaan dan menjaga agar keuntungan dari melanggengkan kekuasaan terus berada di keluarga tersebut,” ulasnya. (rom)
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Sumber: Kaltim Post