LTO, kata Anne, memiliki sejumlah keunggulan jika dibandingkan dengan grafit. Salah satunya, tidak rentan mengalami short circuit atau korsleting saat charging alias pengisian. Arus listrik yang dihasilkan juga lebih stabil dan aman. Di sisi lain, dosen lulusan S-2 dan S-3 di University of Sheffield, Inggris, itu menyebut LTO juga punya kelemahan. Salah satunya, kapasitasnya tidak sebesar grafit. Kapasitas LTO hanya 175 mAh/g, sementara grafit di angka 372 mAh/g.
’’Tim kami berupaya mengatasi kelemahan ini dengan mencampurkan kandungan Sn (timah) atau Si (silikon) dan karbon aktif. Nah, bahan karbon aktif itulah yang didapatkan dari berbagai limbah,’’ ujarnya. Semula dia menggunakan limbah batok kelapa. Kemudian, berkembang lagi menggunakan ampas kopi yang berfungsi memperkuat performa baterai.
Ide pemanfaatan limbah ampas kopi untuk material penyusun baterai lithium-ion berasal dari fenomena banyaknya yang tidak dimanfaatkan. Setelah dilakukan pengkajian, Anne dan tim menemukan kandungan partikel-partikel yang dapat menghasilkan nanopartikel dengan kondisi surface area yang baik. Semakin baik kondisi surface area-nya, semakin banyak ion yang masuk sehingga bisa menghasilkan tenaga yang lebih bagus.
Di dalam pengembangan teknologi kendaraan listrik, khususnya mobil, dibutuhkan baterai dengan bobot ringan. Dengan begitu, penggunaan energi lebih efisien. ’’Kalau baterainya saja sudah berat, energinya habis untuk membawa baterai tersebut,’’ jelasnya.
Dosen yang memiliki tujuh paten itu menuturkan, fokus pengembangan baterai litium kategori LTO adalah menghasilkan bobot yang ringan. Berikutnya, pengisian daya cepat.
Tim peneliti dari FT UI memperkirakan baterai mobil listrik dengan LTO dapat mencapai bobot 200 kilogram lebih ringan daripada baterai sejenisnya. Saat ini, dengan kapasitas yang sama, bateri litium dari grafit memiliki bobot sekitar 500 kilogram.
Dengan bobot yang lebih ringan sampai lebih dari separo itu, diharapkan daya tempuh mobil listrik semakin panjang. Untuk urusan pengisian daya, mobil dengan baterai litium umumnya butuh waktu 1,5 jam sampai 2 jam. Anne berharap, dengan memanfaatkan material dari ampas kopi, baterai litium LTO mereka cukup membutuhkan waktu pengisian 15 menit–30 menit.
Inovasinya masih bisa terus dikembangkan. Salah satunya memanfaatkan plastik limbah botol air mineral. Inovasi itu sekarang dikerjakan Maurice Efroza, mahasiswa S-1 jurusan metalurgi di bawah bimbingan Anne.
Sebanyak 500 gram limbah plastik botol bekas air mineral dapat diolah menjadi 1 gram serbuk karbon. Serbuk itu kemudian dijadikan material penyusun baterai litium layaknya limbah kopi tadi. ’’Jadi, sekaligus bisa menjadi alternatif mengatasi limbah plastik di Indonesia,’’ katanya.
Dekan FTUI Hendri D.S. Budiono menuturkan, inovasi baterai listrik dari FTUI sangat bermanfaat bagi pengembangan industri kendaraan listrik di Indonesia. Dia berharap dunia industri menyerap inovasi yang mereka hasilkan untuk mencapai komersialisasi. ’’Hasil penelitian ini menunjukkan Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi penguasa baterai kendaraan listrik,’’ ujarnya. Riset baterai listrik itu menjadi satu paket dengan riset bus listrik nasional. Ditargetkan, prototipe bus listriknya mulai dikenalkan pada 2022.
Khusus untuk baterai litium, Anne sudah siap mengomersialkannya. ’’Tinggal menunggu minat dari industri saja,’’ katanya. (*/c14/ttg)