Dari depan, di sisi kanan pintu masuk pagar, Masjid Ar-Riyadh jadi penanda kompleks pesantren yang berdiri di atas tanah wakaf H Darman seluas tiga hektare itu.
Selain masjid, di bagian depan pesantren ada Sakinah Mart dan kantor. Agak ke dalam, berdiri asrama santri putra dan putri yang terpisah jauh, ruang kelas, hingga kampus.
Balikpapan Timur tak hanya identik dengan kehadiran Hidayatullah sejak lama. Kecamatan ini, dan sebagian Balikpapan Selatan serta Balikpapan Utara sejak dulu juga dikenal sebagai pusat industri yang menggeliat.
Di wilayah ini berdiri pabrik-pabrik besar nasional hingga kelas dunia. Dari alat berat, otomotif, hingga hasil laut.
Ada PAMA Persada, Ossiana, PT Leighton Contractors, PT Elnusa Perkasa, Renault Trucks, hingga United Tractors. Kawasan yang bagai gula bagi pendatang dari luar daerah, juga luar negeri.
Di beberapa sela kantor perusahaan asing, berdiri kompleks permukiman ekspatriat. Kawasan perumahan yang umumnya terintegrasi dengan sarana pendidikan bagi anak-anak bule. Sebut saja Batakan Housing Complex.
Ada juga Australian International School (AIS) di kompleks ini. Atau masih di selatan Balikpapan, ada Vilabeta Residence dengan fasilitas Prabu International School.
Bagian timur kota tak hanya mengecap label kawasan industri. Juga jadi pusat wisata pantainya Kota Beriman --sebutan lain Balikpapan. Ada Pantai Segara Sari di Manggar milik pemerintah daerah.
Masih satu barisan dengan Pantai Manggar ada Pantai Lamaru milik pengusaha lokal yang terkenal, Jos Sutomo.
Tak hanya bibir pantai dan laut, di Lamaru juga ada wisata sejarah, Makam Jepang. Sedangkan di Kelurahan Teritip ada wahana wisata lain lagi, penangkaran buaya.
Geliat kemajuan di timur kota dan Balikpapan secara umum sejak dulu itulah yang membuat KH Abdullah Said (almarhum), pendiri Ponpes Hidayatullah, khawatir. Dia bimbang dengan masa depan santri-santrinya di tengah gempuran kemajuan zaman. Saat itu, tahun 1970-an.
Baca Juga: Kilas Balik Pernikahan Mubarakah Ponpes Hidayatullah 11 Tahun Lalu; Lima Hari Tanpa Malam Pertama
AWAL MULA
Satu Senin tahun 1976. Pagi yang masih muda saat fajar mulai bangkit. Awal hari yang cerah tak dapat menyembunyikan gurat resah di wajah Abdullah. Dia gusar. Ada galau menyelip. Air muka khawatir tak dapat ditutupi saat ustaz kharismatik ini berdiri di hadapan santri-santrinya.
Kekhawatiran akan masa depan anak didiknya. Santri sang ustaz masa itu memang masih hitungan jari. Belum besar seperti saat ini yang nyaris menyentuh seribu orang. Angka itu pun hanya santri di Balikpapan yang merupakan pusat Hidayatullah.