TOKYO – Jepang harus kehilangan status sebagai negara dengan perekonomian tertinggi ketiga di dunia. Posisi itu kini diambil alih Jerman. Penyebabnya adalah situasi resesi di Jepang. Negara yang dipimpin Perdana Menteri Fumio Kishida itu kini turun di urutan keempat.
Resesi merupakan periode saat terjadi penurunan roda perekonomian yang ditandai dengan melemahnya produk domestik bruto (PDB) selama dua kuartal berturut-turut. Satu kuartal setara 3 bulan. Resesi ekonomi biasanya juga ditandai dengan kenaikan tingkat pengangguran, penurunan penjualan ritel, dan kontraksi atau penurunan di pendapatan manufaktur untuk periode waktu yang panjang.
Ekonomi Jepang mengalami kontraksi pada kuartal terakhir 2023 dan tertinggal dari Jerman. Berdasar data PDB yang dirilis (15/2), PDB Jepang tahun lalu berjumlah USD 4,2 triliun (Rp 65,6 kuadriliun), sedangkan Jerman USD 4,4 triliun (Rp 68,7 kuadriliun). Itu tumbuh hanya 1,9 persen dibanding tahun sebelumnya.
Baca Juga: Awal Tahun, Ekspor Impor Indonesia Melandai
Penurunan tajam nilai mata uang yen terhadap dolar AS selama dua tahun terakhir menjadi salah satu penyebab resesi. Nilai mata uang Jepang turun hampir seperlima terhadap dolar AS pada 2022 dan 2023.
Lemahnya yen sejatinya menguntungkan bagi produsen mobil Jepang dan eksportir lainnya. Sebab, itu membuat barang-barang mereka lebih murah di pasar internasional. Harganya menjadi bersaing. Namun, krisis tenaga kerja di Jepang termasuk sangat buruk akibat rendahnya angka kelahiran.
Krisis tenaga kerja itu diperkirakan semakin parah dalam beberapa tahun ke depan karena upaya pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran belum berhasil. Saat ini Jepang menerima jumlah pekerja asing yang mencapai rekor tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Robot dan mesin secara bertahap dikerahkan di industri, tapi belum mampu sepenuhnya menutupi kekurangan pekerja.
’’Jepang gagal meningkatkan potensi pertumbuhannya. Sebuah kesulitan yang oleh para ekonom dikaitkan dengan krisis demografinya,’’ bunyi penggalan editorial surat kabar bisnis Nikkei.
Menteri Revitalisasi Perekonomian Yoshitaka Shindo menyatakan, Jerman yang melampaui Jepang menunjukkan pentingnya mendorong reformasi struktural. Itu termasuk memasukkan lebih banyak perempuan ke dalam pekerjaan penuh waktu dan menurunkan hambatan terhadap investasi asing.
’’Kami akan menerapkan semua kebijakan untuk mendukung kenaikan gaji guna mendorong pertumbuhan yang didorong oleh permintaan,’’ terang Shindo, seperti dikutip kantor berita Kyodo.
Baca Juga: Bursa Saham Sambut Positif Pelaksanaan dan Hasil Pemilu, IHSG Bakal Menuju Level 8.000
Stagnasi upah memang dituding sebagai faktor lesunya perekonomian. Upah yang tak kunjung naik membuat rumah tangga enggan berbelanja karena harus berjuang menghadapi kenaikan biaya hidup. Konsumsi swasta juga mengalami penurunan 0,2 persen. Padahal, ia menyumbang lebih dari separo aktivitas ekonomi di Jepang.
Seperti halnya Jepang, Jerman juga miskin sumber daya, memiliki populasi yang menua, dan sangat bergantung pada ekspor. Negara dengan perekonomian terbesar di Eropa itu juga terguncang oleh kenaikan harga energi yang dipicu invasi militer Rusia di Ukraina. Namun, krisis kelahiran di Jerman tidak separah di Jepang.