MOSKOW–Presiden Rusia Vladimir Putin siap memerangi berbagai ancaman terorisme. Putin menyebut siapa pun yang terlibat pada serangan di aula konser Crocus City Hall sebagai teroris internasional dan ia siap mengadili para pelaku. ’’Semua pelaku, penyelenggara, dan mereka yang memerintahkan kejahatan ini akan dihukum secara adil dan pasti. Siapa pun mereka, siapa pun yang membimbing mereka,’’ tegasnya dilansir dari Associated Press. Sebanyak 133 orang dilaporkan tewas akibat serangan teroris tersebut.
Pria yang baru memenangi pilpres Rusia itu berjanji akan menghukum mereka yang berada di balik serangan mematikan tersebut. ’’Kami akan mengidentifikasi dan menghukum siapa pun yang berdiri di belakang teroris, yang merencanakan kekejaman ini, serangan terhadap Rusia, terhadap rakyat kami,’’ tegasnya. Di tengah kepiluan yang dialami Rusia, beberapa anggota senior rezim pendukung Putin menyerukan agar hukuman mati kembali diterapkan. Rusia telah menerapkan moratorium hukuman mati sejak 1990-an. Namun, seruan itu kembali muncul usai insiden mematikan tersebut.
’’Penting untuk mengembalikan hukuman mati jika menyangkut terorisme dan pembunuhan,’’ kata Yury Afonin, wakil ketua komite keamanan Duma Negara, dilansir Agence France Presse (AFP). Mantan Presiden Dmitry Medvedev, yang sekarang jadi wakil ketua Dewan Keamanan, juga menyerukan agar teroris dibinasakan setelah serangan itu. ’’Teroris hanya memahami teror pembalasan, kematian ganti kematian,’’ kata Medvedev dalam sebuah unggahan di Telegram. Sejauh ini, kelompok ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan pada Jumat (22/3) tersebut. Namun, ada indikasi bahwa Rusia berupaya mencari tahu korelasi insiden itu dengan Ukraina, meski para pejabat Ukraina menolak tegas keterlibatannya.
Dalam pidato yang disiarkan di televisi, Putin mengatakan bahwa aparat berhasil menahan 11 orang, termasuk empat pria bersenjata. ’’Mereka mencoba bersembunyi dan bergerak menuju Ukraina, di mana, menurut data awal, sebuah pintu keluar telah disiapkan bagi mereka di sisi Ukraina untuk melintasi perbatasan negara,’’ tuturnya. Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) menyatakan, orang-orang bersenjata itu mempunyai kontak di Ukraina dan ditangkap di dekat perbatasan. Meski begitu, Ukraina secara tegas menampik keterlibatan pada serangan itu.
“Ukraina tentu saja tidak terlibat dalam serangan teror ini. Ukraina mempertahankan kedaulatannya dari penjajah Rusia, membebaskan wilayahnya sendiri dan berperang melawan sasaran tentara serta militer penjajah, bukan warga sipil,’’ ujar Jubir Intelijen Militer Ukraina Andriy Yusov kepada Reuters.
Tetapkan Gerakan LGBT ke Daftar Organisasi Ekstremis dan Teroris
Sementara itu, Rusia memasukkan gerakan LGBT ke daftar organisasi ekstremis dan teroris. Langkah itu sejalan dengan keputusan Mahkamah Agung Rusia pada November 2023, bahwa aktivis LGBT harus ditetapkan sebagai ekstremis. Daftar itu dikelola oleh lembaga Rosfinmonitoring. Badan tersebut memiliki otoritas untuk membekukan rekening bank lebih dari 14 ribu orang dan entitas yang ditetapkan sebagai ekstremis dan teroris. Mulai Al Qaeda hingga raksasa teknologi AS Meta dan rekan mendiang pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny. ’’Daftar baru itu mengacu pada gerakan sosial LGBT internasional dan unit strukturalnya,’’ kata kantor berita negara RIA.
Rusia juga telah meloloskan undang-undang yang melarang hubungan seksual “non tradisional” dan melarang perubahan gender secara hukum atau medis. Siapa pun yang ketahuan melakukan ’’pelanggaran’’ itu dapat didenda hingga RUB 400.000 (hampir Rp 90 juta), dengan denda yang jauh lebih tinggi untuk organisasi atau jurnalis. (dee/c18/bay/jpg/riz/k16)