kalimantan-barat

Istri Jadi Pihak Terbanyak Ajukan Perceraian di Pontianak

Selasa, 5 Agustus 2025 | 13:30 WIB
ilustrasi cerai

PONTIANAK - Angka perceraian di Pontianak menunjukkan tren fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang dihimpun, mayoritas gugatan perceraian diajukan oleh pihak istri, dengan penyebab utama perselisihan dan masalah ekonomi.

Pada tahun 2022, Pengadilan Agama Pontianak mencatat 766 kasus perceraian dari Januari hingga September. Dari jumlah tersebut, 608 kasus merupakan cerai gugat yang diajukan istri, sementara 158 kasus adalah cerai talak yang diajukan suami.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yaitu dari 2018 hingga 2022, total kasus perceraian di Pontianak mencapai 5.577. Rincian data tahunan menunjukkan fluktuasi yang signifikan. Pada 2021 tercatat 812 kasus, tahun 2020 mencapai 785 kasus, tahun 2019 sekitar 886 kasus, dan tahun 2018 sekitar 703 kasus.

Baca Juga: Di Kabupaten Paser Masih Ada Guru yang Digaji Rp 75 Ribu Per Bulan, Sekolah Swasta Banyak yang Kesulitan

Secara umum, tren cerai gugat mendominasi. Sekitar 73 persen dari seluruh kasus perceraian selama periode tersebut merupakan permohonan dari pihak istri. Perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus, seringkali dipicu oleh faktor ekonomi, menjadi pemicu utama di balik tingginya angka perceraian di kota ini.

Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Pontianak Yuni Rosdiah mengatakan, selain menangani kasus aparatur sipil negara (ASN) yang tak disiplin, pihaknya juga banyak mendapat laporan perceraian di kalangan ASN Pontianak. Temuan kasus ini mulai dari tataran pejabat sampai ke staf dan guru.

“Dari catatan kami sudah ada 10 kasus perceraian di kalangan ASN Pemkot Pontianak. Penyebabnya bermacam, mulai dari alasan ekonomi, KDRT, perselingkuhan, minuman keras dan narkoba,” ungkap Yuni kepada Pontianak Post, Senin (4/8).

Ajuan perceraian ini kebanyakan dilakukan oleh perempuan Pontianak. Kata dia, BKPSDM dalam menanggapi laporan tersebut tetap dilakukan proses. Mulai dari mediasi dari tataran OPD masing-masing hingga sampai ke BKPSDM. Dari mediasi itu, ada yang tidak bisa dipertahankan dan bercerai. Namun sebagian ada juga damai dan tak jadi pisah.

“Dari data kami, di 2024 lalu BKPSDM mendapat laporan sebanyak 15 kasus perceraian ASN Pemkot Pontianak. Sedangkan sekarang (dari Januari) hingga kini sudah 10 kasus perceraian ASN. Mudah-mudahan tidak lebih dari tahun lalu,” ujarnya.

Dia mengungkapkan kasus perceraian ini banyak ditemukan di kalangan staf dan guru. Namun beberapa di antaranya juga terdapat di kalangan pejabat eselon. Jika sudah di tataran pejabat, diharapkan tak banyak kejadian. Sebab mereka merupakan contoh dari para staf di lingkungan OPD-nya.

Baca Juga: Mengintip Desa Adat Sade di Lombok, Kaji Penguatan Desa Wisata Berbasis Budaya


Ketika sudah mendapati kasus seperti ini, mereka juga tak konsen bekerja. Karena ada banyak proses harus dilewati. Sehingga memakan waktu panjang. Apalagi jika ASN yang tergugat, maka yang bersangkutan harus meminta rekomendasi dari wali kota. Ini butuh waktu. Namun jika ASN sebagai penggugat maka akan dilakukan dua kali mediasi. “Harapan kami dari mediasi ini tak jadi cerai,” katanya.

Sebab ketika perceraian terjadi akan banyak dampak dari retaknya rumah tangga ASN ini. Mulai dari dampak psikologis anak-anaknya, perekonomian sampai dengan hal-hal yang bisa membuat kerentanan, semuanya bisa terjadi.

“Dampak jangka panjang ini yang menjadi perhatian kami. Oleh sebab itu, saat mediasi kedua pasangan mesti mempertimbangkan hal-hal yang bakal terjadi ketika sudah bercerai. Pastinya anak-anak yang juga ikut menjadi korban,” tutupnya.(iza)

Halaman:

Terkini