PONTIANAK – Ratusan warga di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, kini dilanda kekhawatiran setelah lahan pertanian dan perkebunan sawit mereka tiba-tiba diblokir oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Lahan seluas sekitar 6.000 hektare yang selama bertahun-tahun dikelola masyarakat, kini dipasangi plang larangan masuk oleh satgas tersebut, dengan alasan lahan itu berada di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI). Salah satunya, di Desa Semadu, Kecamatan Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau.
Kondisi ini memicu gejolak di tengah masyarakat, terutama petani dan pekebun swadaya yang telah lama menggantungkan hidup dari lahan tersebut. Mereka mengaku tidak pernah mendapat pemberitahuan resmi sebelum pemblokiran dilakukan.
Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Barat, Heri Mustamin, yang menerima pengaduan sejumlah anggota DPRD Kabupaten Sekadau dan warga, Kamis(7/8) di Gedung DPRD Kalbar menyatakan keprihatinannya terhadap situasi ini. Menurutnya, masyarakat selama ini menanami lahan tersebut karena lahan HTI itu terkesan dibiarkan terlantar oleh perusahaan pengelolanya.
“Lahan HTI ini dibiarkan tidak dimanfaatkan secara maksimal selama bertahun-tahun. Karena luas dan tidak terawat, masyarakat pun mulai memanfaatkannya untuk bertani dan menanam sawit,” ujar politisi Golkar Kalbar ini seusai rapat.
Namun, kehadiran Satgas PKH yang memasang plang larangan dan memblokir akses ke lahan tersebut, menurut Heri, justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan kegaduhan sosial. “Masyarakat bingung, mereka merasa sudah bekerja keras di lahan itu, tiba-tiba dilarang. Padahal mereka tidak tahu bahwa lahan itu masuk kawasan HTI atau punya HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan,” tambahnya.
Lebih jauh, Heri mengungkapkan adanya tumpang tindih kewenangan dan ketidakjelasan status lahan. Ada dugaan bahwa di atas kawasan HTI juga tumpang tindih dengan HGU perkebunan, yang menjadi kewenangan Dinas Perkebunan dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), bukan hanya kawasan hutan yang dikelola Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Pertanyaannya sekarang, apa sebenarnya fungsi Satgas PKH ini? Apakah mereka bertugas menertibkan kebun liar di hutan, atau juga di kawasan perkebunan? Dan kenapa tidak ada sosialisasi dulu sebelum bertindak?” tanya Heri kritis.
Ia menyesalkan bahwa Satgas PKH bergerak tanpa koordinasi dengan DPRD maupun pemerintah daerah setempat. “Kami sebagai wakil rakyat malah baru tahu setelah warga datang mengadu. Ini kan ironis. Masyarakat awam, kami juga awam kalau tidak dikasih data,” ujarnya.
Untuk itu, Komisi IV DPRD Kalbar berencana menggelar serangkaian rapat maraton dengan instansi terkait, termasuk KLHK, Dinas Perkebunan Kalbar, dan ATR/BPN. Tujuannya, agar bisa memetakan secara jelas.
Berapa luas kawasan HTI dan HPH di Kalimantan Barat?, Siapa saja perusahaan yang menguasai lahan tersebut?, Apakah lahan itu benar-benar aktif dikelola atau hanya ada di atas kertas? dan apakah terjadi tumpang tindih dengan HGU perkebunan?
“Kami butuh peta yang akurat. Jangan sampai rakyat kecil yang mencari nafkah dihukum, sementara persoalan struktural tidak diselesaikan,” tegas Heri.
DPRD Kalbar juga berencana berkonsultasi dengan Komisi IV DPR RI, termasuk meminta penjelasan dari anggota Komisi IV dari Fraksi Golkar, Adrian Dissider, terkait Instruksi Presiden (Inpres) yang menjadi dasar pembentukan Satgas PKH. “Kami dengar ini terkait Inpres Nomor 5 Tahun 2025, tapi kami butuh klarifikasi resmi,” ujar Heri. Masyarakat Butuh Kepastian, Bukan Penertiban Tanpa Dialog.
Heri menekankan bahwa tindakan penertiban harus didahului dengan sosialisasi dan pendataan yang transparan. “Kalau langsung pasang plang dan larang warga, itu akan menimbulkan gejolak. Harus ada dialog, ada solusi, bukan hanya penertiban," ujarnya. (*)