PONTIANAK- Di tengah upaya serius mendorong industri kehutanan yang berkelanjutan dan legal, para pelaku industri kayu di Kalimantan Barat (Kalbar) justru dihadapkan pada tantangan yang merusak iklim usaha. Tantangan tersebut datang dari oknum yang mengaku sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan wartawan, yang dituding mengganggu operasional industri.
Ketua Umum Asosiasi Pelaku Industri Kayu (APIK) Kalbar, Dedy Armayadi, mengungkapkan bahwa meskipun industri kayu Kalbar memiliki potensi besar menopang ekonomi sambil menjaga kelestarian hutan, di lapangan banyak pelaku usaha menghadapi tekanan dan pemerasan dari pihak-pihak yang tidak memiliki kapasitas di bidang kehutanan.
Baca Juga: Tragedi Pasar Malam: Wahana Rainbow Slide Ambruk di Pontianak, Enam Orang Luka
“Industri kita banyak diganggu, saya menyebutnya LSM plat merah, juga oknum wartawan. Mereka datang ke industri, seolah mau buat berita, tapi ujungnya minta uang. Kalau tidak dikasih, diberitakan yang bukan-bukan,” ujar Dedy.
Menekan Pelaku Usaha Berizin Resmi
Menurut Dedy, praktik pemerasan ini membuat pelaku usaha yang telah menjalankan seluruh proses perizinan resmi menjadi enggan untuk mengembangkan usaha. Padahal, sebagian besar industri penggergajian kayu di Kalbar 100 persen menggunakan bahan baku legal yang berasal dari Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT), yakni pemilik lahan bersertifikat di luar kawasan hutan (Areal Penggunaan Lain/APL) yang memanen pohon secara legal.
Dedy menjelaskan, saat ini hanya 24 dari sekitar 65 PHAT yang ada di Kalbar yang aktif beroperasi pada tahun 2025. Selain kendala oknum, akses bahan baku dari sumber lain seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dinilai sulit dijangkau oleh industri kecil dan menengah karena mensyaratkan pembelian dalam jumlah besar, setara dengan satu Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Wajibkan Tenaga Ahli Bersertifikat
Untuk menjamin legalitas dan profesionalitas, APIK mewajibkan setiap anggotanya memiliki Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan (Ganis PH). Ganis PH adalah tenaga ahli bersertifikat yang memahami tata kelola hasil hutan, mulai dari penebangan hingga pengolahan kayu, memastikan seluruh kegiatan industri berjalan sesuai prinsip keberlanjutan.
“Setiap anggota APIK wajib punya Ganis PH. Mereka bersertifikat dan paham betul ilmu kehutanan. Sementara, oknum-oknum yang datang memeras itu tidak punya latar belakang kehutanan, asal bicara saja,” tegas Dedy.
APIK Kalbar kini mendorong penguatan kerja sama antara PHAT dan pemerintah daerah (Pemda). Dedy berharap Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalbar dapat melibatkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di kabupaten/kota dalam penyediaan bibit setelah penebangan, sehingga prinsip keberlanjutan dijalankan secara gotong royong.
“Setelah menebang, PHAT bisa menanam kembali. Bibit bisa dari persemaian KPH. Jadi pemerintah berkontribusi lewat penyediaan bibit, sementara anggota PHAT yang menanamnya,” pungkas Dedy, menegaskan bahwa kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan industri. (*)