PONTIANAK – Wacana penerapan kebijakan B50—penggunaan bahan bakar nabati dengan campuran 50 persen biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO)—mendapat sambutan positif dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar). Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalbar, Heronimus Hero, menilai kebijakan ini sejalan dengan upaya nasional untuk memperkuat hilirisasi sawit.
“Kalau B50 bisa diolah sampai 50 persen untuk bahan bakar dari sawit, kenapa tidak,” ujar Hero.
Hero memandang kebijakan B50 sebagai peluang strategis bagi daerah penghasil sawit utama seperti Kalbar. Ia menekankan pentingnya menjaga harga biodiesel domestik agar tetap kompetitif dibandingkan dengan harga CPO global, sehingga petani dan industri sawit tidak dirugikan.
Produksi CPO Kalbar Capai Tujuh Juta Ton
Hero menjelaskan bahwa produksi sawit nasional dipengaruhi oleh luas tanam, kondisi tanaman, dan program peremajaan (replanting). Meskipun produksi tandan buah segar (TBS) secara nasional sedikit menurun, kondisi ini dianggap masih normal dan diproyeksikan akan meningkat kembali dalam dua tahun ke depan.
Di Kalbar sendiri, total produksi CPO dan kernel dilaporkan mencapai sekitar tujuh juta ton, yang setara dengan 32–33 juta ton TBS.
Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kalbar menunjukkan tren ekspor sawit yang bervariasi hingga September 2025.
Kepala Bidang Fasilitas Kepabeanan dan Cukai DJBC Kalbar, Beni Novri, mencatat bahwa volume ekspor CPO murni mengalami kenaikan, tercatat sebesar 47,99 ribu ton atau naik 9,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, ekspor produk turunan CPO justru menurun tajam sebesar 40,3 persen menjadi 207,95 ribu ton.
Meskipun volume produk turunan CPO mengalami penurunan, tingginya harga CPO di pasar global tetap berhasil mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor tersebut.
Hero menyimpulkan, selama harga biodiesel domestik mampu bersaing, kebijakan ini akan menguntungkan. “Ini momentum untuk memanfaatkan produksi lokal dan memperkuat hilirisasi sawit di dalam negeri,” tutupnya.(*)