kalimantan-barat

Alarm Bonus Demografi: Pengangguran Lulusan SMK di Kalbar Tertinggi Capai 9,86 Persen

Senin, 8 Desember 2025 | 11:00 WIB
ILUSTRASI: Pengangguran. (Dimas Pradipta/JawaPos.com)

PONTIANAK – Tingkat pengangguran lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kalimantan Barat (Kalbar) kembali mencatatkan angka tertinggi dibanding jenjang pendidikan lainnya. Temuan Badan Pusat Statistik (BPS) Kalbar ini menimbulkan kekhawatiran baru di tengah momentum bonus demografi, di mana kualitas tenaga kerja menjadi kunci.

Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS per Agustus 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kalbar secara umum tercatat sebesar 4,82 persen. Namun, jika dirinci berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, TPT lulusan SMK melonjak hingga 9,86 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan lulusan, SMA: 7,34 persen, Diploma I/II/III: 5,90 persen, Sarjana (D-IV/S1/S2/S3): 5,20 persen.

Statistisi Ahli Madya BPS Kalbar, Yoyo Karyono, menjelaskan, "Artinya, dari 100 orang angkatan kerja terdapat sekitar empat sampai lima orang penganggur. Namun, fokus utamanya adalah di lulusan SMK yang mencapai hampir 10 persen."

Pengamat Ekonomi Universitas Tanjungpura (Untan), Meiran Panggabean, menduga tingginya angka pengangguran lulusan SMK berkaitan erat dengan adanya mismatch (ketidaksesuaian) antara fasilitas belajar dengan kebutuhan industri masa kini.

Secara konsep, SMK dirancang untuk mencetak lulusan siap kerja. Namun, Meiran menilai banyak SMK belum beradaptasi dengan kecepatan perkembangan teknologi di dunia usaha.

“Dari data ini, kita menduga di SMK itu peralatan keterampilan tidak modern. Banyak mesin-mesin lama digunakan, padahal industri sudah pakai teknologi baru,” ujarnya belum lama ini.

Ia menambahkan, fasilitas pendukung pembelajaran seperti perangkat komputer juga diduga belum mengikuti standar industri saat ini, sehingga kompetensi lulusan tidak relevan saat memasuki pasar kerja.

Meiran Panggabean juga menyoroti dua persoalan lain yang menahan laju lulusan SMK, bahkan Sarjana, memasuki dunia kerja. Yakni akses modal. Lulusan yang memiliki keterampilan sulit mendapatkan modal untuk membuka usaha mandiri. “Kemungkinan lulusan ini punya keterampilan, tapi sulit mendapatkan modal. Akhirnya mereka tidak bisa membuka usaha,” kata Meiran.

Kedua sertifikasi keterampilan. Ia menekankan pentingnya sertifikasi resmi, sebab indikator pembangunan kini tidak hanya mengukur jumlah tenaga terampil, tetapi juga berapa banyak yang memiliki sertifikat resmi.

Meiran menegaskan bahwa persoalan pengangguran adalah isu multidimensi, yang tidak hanya melanda lulusan SMK, tetapi juga lulusan perguruan tinggi. "Faktanya, sarjana juga banyak yang menganggur," tutupnya. (*)

Terkini