BANJARMASIN - Hujan deras mengguyur kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari di Jalan Ahmad Yani kilometer 5, kemarin (4/2) pagi.
Namun, pendingin ruangan aula Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) tetap menyala. Beberapa mahasiswa tampak menggigil.
Suhu ruangan mungkin terasa dingin menusuk. Tapi topik pembicaraannya tetaplah panas. Menyangkut nasib Gusti Muhammad Thoriq Nugraha. Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam yang diskorsing dua semester.
Menyusul unjuk rasa mahasiswa di depan gedung fakultas yang dikoordinir Gusti pada 7 Mei 2018 silam. Surat skorsing sendiri baru terbit pada 21 Januari kemarin.
Pemuda asal Martapura itu kemudian diadvokasi Aliansi Mahasiswa UIN Antasari Banjarmasin Bersatu.
Setelah pertemuan pertama gagal, akhirnya dekanat bersedia membuka pintu dialog. Pertemuan berlangsung sejam lebih. Diputuskan, surat skorsing akan ditinjau ulang. Dekanat meminta waktu sepekan.
"Kami menginginkan perdamaian. Masalah internal ini harus berakhir dengan baik. Ibarat rumah tangga, ini pertengkaran biasa antara orang tua dan anak," kata Wakil Dekan II, Hasni Noor.
Dia menegaskan, FTK gembira melihat daya kritis mahasiswanya. Sekalipun mencecar kondisi fasilitas kampus. Ambil contoh toilet mampat.
"Meski kami bekerja dengan anggaran terbatas. Saya jamin, bukan hanya toilet yang bakal diperbaiki," janjinya.
Hasni membeberkan rencana pemasangan CCTV pada halaman parkir. Merujuk keluhan mahasiswa yang kerap menjadi korban pencurian helm. Ditambah pemasangan AC pada ruang sidang skripsi.
"Mahasiswa kan sering mengeluh kepanasan," imbuhnya.
Namun, Hasni mengaku terganggu dengan pemberitaan Radar Banjarmasin pada edisi 1 Februari. Menyangkut kutipan milik Dosen FISIP Universitas Islam Kalimantan (Uniska), Muhammad Uhaib As'ad. Dia menilai Uhaib terlampau menggeneralisir masalah.
"Saya lama mengenal Uhaib. Sudah 12 tahun lebih. Pernyataannya menyakiti hati," sesalnya.
Sementara itu, Wakil Dekan III, Syaiful Bahri Djamarrah menekankan, penjatuhan skorsing tak ada sangkut-paut dengan unjuk rasa mahasiswa.
"Terjadi pelanggaran etika. Dalam bahasa UIN disebut pelanggaran akhlak," ungkapnya.