Satu persatu transmigran angkat kaki dari Desa Bahandang, Kecamatan Jejangkit, Barito Kuala (Batola). Apa yang terjadi sejak tahun 2006 lalu?
****
MARABAHAN – Ada sekitar 500 kepala keluarga tadinya ikut program transmigrasi. Ada yang lokal, maupun dari luar Pulau Jawa. Program ini tercetus di era kepemimpinan Bupati Batola, Eddy Sukarma.
Radar Banjarmasin ke lokasi belum lama tadi. Lebih dulu melewati perkampungan warga asal. Dari perkampungan itu kurang lebih 3 km baru sampai ke lokasi transmigrasi. Masih ada beberapa bangunan terlihat. Sebenarnya tak layak huni. Tapi, tetap ditempati transmigran yang masih bertahan.
Arbai (69), contohnya. Ia masih memilih bertahan. Pria paruh baya ini transmigran lokal asal Desa Gudang Hirang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar. "Pinginnya sih mau balik ke kampung asal. Tapi, mau bagaimana lagi, tempat tinggal sudah tidak ada lagi di sana," ucapnya.
Arbai sekarang menjadi ketua RT di sana. Ia termasuk tetuha kampung. Ia tinggal sendiri. Mendirikan bangunan baru tak layak huni di lahan fasilitas umum milik pemkab. Di lokasi baru ini lebih dekat ke perkampungan. Sedangkan kediamannya yang lama, lokasinya lebih ke dalam. Lebih sulit diakses. Jadi, sudah ditinggalkan. "Ada anak saya. Dia tinggal beda rumah (juga di lahan fasilitas umum, red)," ucapnya.
Arbai menceritakan 500 kepala keluarga langsung galau ketika lahan pemberian yang digarap ternyata tak bisa membuat mereka bertahan hidup. Transmigran dari Jawa jumlahnya sekitar 470 KK. "Sejak tahun 2006, mereka satu persatu memilih meninggalkan lokasi ini. Padahal saat itu baru berjalan 3 tahun,” kenangnya. Bahkan ada yang baru 7 bulan di sini, memilih balik.
“Seandainya ada pilihan (pekerjaan, red), mungkin memilih bertahan," katanya.
Sejak dikirim menjadi transmigran, masing-masing kepala keluarga menerima bantuan bahan sembako selama 18 bulan. Ada beras, dan lainnya.
Kendati demikian, khususnya transmigran dari Jawa, tetap memilih pulang ke kampungnya. "Walau lahan tersedia, penghasilan untuk keluarga mereka tidak ada. Mau garap padi, sayur-sayuran, dan sejenisnya, tak lama rusak karena terendam,” ingatnya.
Lahan yang diberikan pemerintah sebenarnya 1,5 hektare. Satu hektare bisa untuk digarap, dan setengahnya lagi untuk pekarangan atau tempat tinggal.
Mereka pun bingung apa yang harus dikerjakan. “Lahan di sini tak bisa digarap karena faktor alam," bebernya.
Bangunan setelah ditinggal transmigran menjadi lapuk. Ambruk tak berbentuk. Jalan poros juga ditumbuhi rerumputan liar, lantaran tak ada yang merawat lagi. Bahkan, menjadi hutan kembali. "Jembatan juga putus, karena kayu-kayu ulinnya dicuri orang. Tak bisa lagi menembus ke desa sebelah," ungkap Arbai.
Menurutnya, pemerintah hanya bisa memprogramkan saja. Namun tidak mengkaji bagaimana kondisinya jika seperti ini berkepanjangan. Mata pencaharian hanya berharap dari mencari ikan. "Kami berharap ada perhatiannya. Carikan solusi bagaimana kami di sini bisa nyaman, dan ada penghasilan untuk bisa bertahan hidup,” pintanya.