MARTAPURA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Banjar kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, media sosial diramaikan dengan video yang memperlihatkan adanya ulat di dalam porsi sayur salah satu menu MBG di sekolah wilayah Kecamatan Karang Intan.
Video yang diunggah akun Instagram @habarbjm pada Senin (13/10) tersebut langsung viral, menampilkan ulat kecil yang utuh di hidangan siswa. Unggahan ini disertai sindiran mengenai "bonus tinggi protein berupa ulat sayur," memicu beragam reaksi dari warganet.
Baca Juga: Air dan Makanan Tercemar Bakteri di Dapur Penyedia MBG Martapura, Jadi Biang Kerok Keracunan Massal
Menanggapi cepat temuan ini, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banjar langsung menerjunkan tim dari Puskesmas Karang Intan II untuk melakukan Inspeksi Kesehatan Lingkungan (IKL) menyeluruh di lokasi sekolah dan dapur penyedia makanan.
Investigasi Menyeluruh Dapur dan Sekolah
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Banjar, dr. Widya Wiri Utami, membenarkan bahwa tim sedang melakukan penelusuran. "Saat ini, kami masih dalam tahap investigasi. Tim dari puskesmas sudah turun ke lapangan untuk memeriksa sekolah dan dapur yang memasok makanan. Hasilnya akan kami sampaikan setelah pemeriksaan selesai,” ujarnya pada Selasa (14/10) petang.
Widya menjelaskan, pemeriksaan tidak hanya fokus pada sekolah tempat temuan ulat, tetapi juga terhadap dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menjadi sumber pasokan. "Kami belum memastikan dapur SPPG mana yang mengirimkan makanan tersebut. Setelah verifikasi di lapangan, baru bisa diketahui dengan pasti," tegasnya.
Masalah Sanitasi dan Kebersihan Dapur
Plt Kepala Dinkes Banjar, Noripansyah, turut memberikan tanggapan terkait temuan ulat tersebut. Menurutnya, meskipun ulat tidak selalu berarti bahan makanan berbahaya secara kimiawi—bisa jadi indikasi sayuran tidak disemprot pestisida—ia menilai temuan ini menunjukkan adanya masalah serius dalam kebersihan dan pengolahan bahan pangan.
“Tapi dari sisi sanitasi, tentu ini tidak baik karena menandakan pencucian sayur tidak maksimal,” ungkap Noripansyah.
Ia menduga masalah ini disebabkan oleh proses pencucian bahan yang kurang bersih atau kurangnya pengetahuan penjamah makanan tentang standar higienitas. "Seharusnya bagian sayur yang rusak atau ada ulatnya dibuang sebelum dimasak. Jadi persoalannya lebih ke kebersihan dapur, dan keterampilan pengelolaan bahan makanan,” terangnya.
Dinkes Banjar memastikan bahwa pemeriksaan terhadap dapur dan penjamah makanan akan diperketat, terutama setelah serangkaian kasus yang menyoroti program MBG. “Evaluasi menyeluruh sedang kami lakukan. Semua dapur MBG wajib memenuhi standar sanitasi agar tidak ada lagi insiden seperti ini,” pungkas Noripansyah. (*)