LONDON – Kondisi politik di kawasan Britania Raya, membuat para Brexiteer pesimistis. Parlemen Inggris dijadwalkan melakukan voting draf final kesepakatan pada 14 Januari.
“Kalau kesepakatan Perdana Menteri (Theresa May) lolos di parlemen, Inggris pasti keluar pada 29 Maret. Jika tidak, kemungkinannya 50-50,” kata Menteri Perdagangan Internasional Inggris Liam Fox.
Kantor Berita Reuters melansir bahwa anggota Partai Konservatif itu tidak rela rencana Inggris bercerai dengan Uni Eropa gagal. Menurut dia, pembatalan Brexit merupakan pengkhianatan terhadap rakyat yang sudah memilih saat referendum 2016.
Namun, dia pesimistis rakyat rela Inggris angkat kaki dari Uni Eropa tanpa kesepakatan. Dalam beberapa minggu terakhir, momok no deal Brexit, sebutan untuk kondisi Brexit tanpa ada perjanjian, terus menyeruak.
Pemerintah sudah membagikan manual untuk membimbing semua elemen apabila Inggris tiba-tiba teralienasi di Benua Biru. Misalnya, menurunkan 3.500 tentara untuk mengatasi kericuhan.
Yang terbaru, Kementerian Perhubungan membuat kontrak GBP 100 juta (Rp 1,8 triliun) untuk menambah kapasitas kapal di Inggris. Mereka mengantisipasi jika jalan darat yang biasa digunakan saat ini menjadi terlarang saat Brexit berlaku.
“Itu kebijakan yang gila. Pemerintah terlalu sembrono dalam menghabiskan uang rakyat,” cetus Vince Cable, pimpinan Partai Liberal Democrat.
Situasi tersebut membuat banyak politikus mendorong referendum kedua. Mereka menilai, rakyat berhak memilih kembali, apakah melanjutkan Brexit atau tetap di Eropa.
“Satu-satunya yang mengkhianati rakyat adalah politikus seperti Liam Fox. Dia seakan tidak memperbolehkan rakyat menentukan keputusan terakhir untuk nasib bangsa,” tegas Layla Moran, legislator Liberal Democrat kepada BBC.
Sementara itu, tersiar kabar bahwa parlemen sedang menggodok rencana pemunduran deadline pemberlakukan Brexit. Saat ini, tenggat waktu pemberlakuan Brexit jatuh pada 29 Maret.
Menurut The Guardian, tanggal tersebut akan diundur hingga Juni 2019. “Saat rencana May lolos pun, pemerintah perlu waktu untuk meloloskan semua legislasi,” ujar mantan Jaksa Agung, Dominic Grieve.
Kubu Uni Eropa telah menegaskan bahwa Inggris boleh saja menggunakan pasal 50 untuk memundurkan tenggat waktu. Namun, tidak ada renegosiasi soal detail draf final yang sudah disepakati.
Artinya, kemungkinannya ada tiga. Tetap pada kesepakatan, tidak ada kesepakatan, atau tetap di Uni Eropa. “Yang perlu ditegaskan, kami hanya ingin memperjelas hubungan di masa depan,” ujar Presiden Komisi Uni Eropa, Jean-Claude Juncker.
Juncker menegaskan, Eropa menghormati hasil referendum 2016. Namun, dia juga tidak menolak jika ada referendum kedua.
Sebelumnya, Perdana Menteri (PM) Theresa May selamat dari mosi tidak percaya yang digulirkan Partai Konservatif di parlemen pada 12 Desember. Tapi, tidak berarti beban kepala pemerintahan Inggris itu berkurang.