Dokter Madinah memeriksa jantung saya. Dengan alat-alat modern. “Jantung Anda istimewa. Pulang saja. Nanti sembuh sendiri,” katanya. Saya tidak mau pulang. Lalu disuntik morfin. Masih tetap sesak. Tapi nyerinya berkurang.
Saya putuskan: biar anak-cucu ke Makkah. Saya dan istri beli tiket baru: kembali ke Surabaya. Dengan dada masih nyeri sepanjang penerbangan. Dari Bandara Juanda saya langsung masuk rumah sakit di Surabaya. Tiga hari opname di situ. Juga tidak ditemukan apa-apa. Padahal tetap belum bisa buang air besar (BAB). Sudah satu minggu.
Sampailah saya ingat Maulana Jalaluddin Rumi. Dan guru sufi saya di Indonesia. Tengah malam itu saya melakukan kegiatan spiritual. Istri saya menghitung. Saya tidak mau tasbih mengganggu konsentrasi.
Pagi harinya saya bisa BAB. Lalu minta keluar rumah sakit (RS). Dirawat istri saja di rumah. Dibikinkan tajin. Agar ada nutrisi masuk sistem. Saya bermalam tahun baru berdua saja. Di tempat tidur. Anak-menantu memonitor lewat iPhone.
Robert Lai terus khawatir. Memaksa saya ke Singapura. Teman baik saya itulah yang mengatur semuanya. Anda pun sudah tahu. Dokter di sana mengatakan bahwa saya sangat beruntung. Tidak meninggal saat di Madinah. Atau di penerbangan panjang kembali ke Indonesia. Ditambah ke Singapura. Mestinya saya dilarang naik pesawat. Dalam kondisi kritis seperti itu: pembuluh darah utama saya (aorta) ternyata pecah. Sepanjang 50 sentimeter.
Kisah selanjutnya, Anda sudah tahu: ada di Disway edisi pertama sampai edisi akhir Februari tahun lalu. Kini, setahun kemudian saya ada di Istanbul. Dari pedalaman-pedalaman Turki.
Begitu melihat dalamnya laut Bosporus saya menetapkan hati: salat dulu di Blue Mosque. Lalu tidur. Tidak perlu melihat pesta tahun baru. Apalagi ikut merayakannya. Tidur lebih baik dari melek. Untuk kondisi saya yang seperti itu. Yang setahun lalu seperti itu. Tahun baru. Apalah artinya. Tanpa mengisinya. (rom/k15)