• Senin, 22 Desember 2025

Upaya Normalisasi Sungai Karang Mumus, Warga Mau Direlokasi ke Sini...

Photo Author
- Senin, 7 Januari 2019 | 09:58 WIB

SAMARINDAPengendalian banjir tak semudah membalikkan telapak tangan. Penyelesaiannya perlu bertahap dengan anggaran besar. Di Samarinda, tantangan terbesar ada dalam pengendalian Sungai Karang Mumus (SKM). Sungai yang membelah Kota Tepian itu alami pendangkalan hingga 70 persen. Padahal, pengaruh SKM dalam pengendalian limpasan air di Samarinda mencapai 60 persen.

Beberapa waktu lalu, Gubernur Kaltim Isran Noor menegaskan tengah mengupayakan agar Samarinda mendapat bantuan APBN Rp 7 triliun tahun ini. Anggaran itu dialokasikan khusus program pengendalian banjir hingga 2021. Anggaran tersebut rencananya banyak digunakan untuk membenahi SKM.

Pemkot Samarinda sangat mendukung upaya gubernur. Ini disampaikan Sekretaris Kota (Sekkot) Samarinda Sungeng Chairuddin. “Pak Gubernur (Isran Noor) tentu akan membantu menyiapkan solusi. Begitu pula dalam hal regulasi,” ujarnya.

Kendati demikian, pihaknya tetap bekerja. Sesuai masterplan yang telah mereka susun. Pihaknya membantu dari sisi pembebasan lahan untuk relokasi. “Apalagi semua bangunan rencananya direlokasi. Drainase yang mengarah ke SKM akan dibenahi,” terang dia.

Pihaknya juga berencana menyatukan bangunan milik warga yang bermukim di tepi SKM. Jika ada 100 rumah berdempetan, rencananya diterapkan pergantian dengan membangunkan rumah. “Tapi, tetap di lokasi yang sama. Hanya, bangunannya ke atas (bertingkat). Tetap mengikuti batas sempadan sungai. Kan 10 meter dari tepi sungai tidak boleh ada bangunan. Seperti di Banjarmasin. Ternyata polanya bagus,” jelasnya.

Jika berjalan demikian. Mantan kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Samarinda itu menyebut, warga tidak perlu pindah jauh. Hanya, tepi sungai dan bangunan dibuat lebih rapi. “Tetap dikondisikan agar warga mau bergabung. Yang jelas, kami akan berkoordinasi dengan Pemkot Banjarmasin. Bagaimana mereka menerapkan sistemnya,” ungkap dia.

Dia memastikan, bangunan akan dibuat bagus. Dengan jumlah lebih sedikit. Lantaran bangunan dibuat bertingkat. “Kami berupaya secepatnya. Apalagi Pak Isran (Gubernur Kaltim) Januari sudah bergerak,” pungkasnya.

Perlu diketahui, sekarang kondisi SKM dapat dikatakan sedang kritis. Ini akan mengancam kelangsungan ekologis. Sehingga, penanganannya tidak dapat dilakukan satu pihak. Apalagi, permukiman masih memenuhi tepinya.

Selama terus seperti itu. Kondisi SKM tidak akan berubah. Walaupun pengendaliannya sudah berjalan. Maka, untuk mengembalikan fungsi SKM seperti sediakala, yakni dengan merelokasi masyarakat yang bermukim di bantaran SKM.

Akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Mulawarman (Unmul) Riza Hayati Ifroh mengatakan, faktor perilaku atau masyarakat harus diperhatikan. Juga, dibantu dan didukung dengan advokasi serta kemitraan dari berbagai pihak. “Menangani SKM tidak hanya bagian hulu atau hilirnya saja. Tapi, dari hulu ke hilir,” ujar Riza.

Dia tidak menampik, hulu SKM kondisinya hijau tanpa permukiman. Namun, yang menjadi permasalahan di kawasan perkotaan. Jelas terlihat bagaimana perbedaannya. “Selama masyarakat tidak direlokasi. Masalah tidak akan selesai. Polusi yang muncul di SKM. Berasal dari masyarakat tepi sungai,” kata dia.

Memang diperlukan kajian determinan sosial. Untuk memastikan kondisi SKM. Konsepnya mencakup psikologis, fisik, biologis, dan perilaku masyarakat. Sehingga pihaknya tidak bisa asal berasumsi. “Namun, jika dilihat kondisi sekarang. Kelangsungan ekosistem pasti terganggu,” terangnya.

Pada 2013, dia mengaku pernah melakukan penelitian. Terhadap Sungai Mahakam. Walhasil, kadar logam di Sungai Mahakam cukup tinggi. “Tidak boleh dikonsumsi secara langsung. Itu kondisi Sungai Mahakam. SKM, silakan menilai sendiri,” jelas dia.

Jika dilihat dari konsep kesehatan masyarakat (kesmas). Tidak hanya berbicara tentang satu aspek. Tapi, tentang kolaborasi dari semua pihak. “Perilaku masyarakat juga harus diperhatikan,” imbuhnya.

Sungai bisa sehat kalau dijaga jalur hijaunya. Seperti batas sempadan sungai, 10 meter dari tepi sungai tidak boleh ada bangunan. Begitu pula daerah aliran sungai (DAS). Diperlukan tumbuhan yang hidup di dalam air. Seperti eceng gondok dan kumpai. "Fungsinya menghisap racun di dalam air,” terang dia.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X