Musim hujan datang. Tiba pula musim durian. Kasar, berduri, kurang elok dipandang. Tapi tunggulah sampai ia terbelah. Aroma khas tiada duanya. Manis dan legit membuatnya digemari sepanjang masa.
DENGAN jemari kirinya Syukur memberi isyarat angka lima. Dia tak bisa bicara dengan bibir yang sedang mengulum, memisahkan daging buah dari bijinya. Isyarat itu menunjukkan ini buah kelima yang dia nikmati bersama empat rekannya. Semuanya pelaut. Dan semuanya tampak sepakat; awal tahun, rembang petang di pinggiran Sungai Mahakam adalah waktu dan tempat yang pas untuk mabuk duren.
Bertubuh tinggi, tambun, rambut keperakan, namun dengan suara lembut, beberapa saat kemudian Syukur berbincang lancar dengan media ini. Durian dan berbagai buah lain dianggapnya beti, alias beda-beda tipis. Hanya selingan, dan bisa dipilih jika kapal tempatnya bekerja sedang lego jangkar.
Bedanya, durian terutama yang khas Kaltim, bagi Syukur ada nostalgia. Lahir besar di Tenggarong, Syukur tahu awal-awal tahun adalah waktu tepat untuk berburu buah berduri itu. Hal yang dilakoninya sejak kanak-kanak. Durian Melak favoritnya. Tak terlalu besar. Makan dua sampai tiga tidak enek. Harga terjangkau kocek.
Tak payah dia mengompori sejumlah temannya untuk bergabung. Karena memang sejawatnya itu juga penggemar durian. Jadilah lima sekawan ini menghabiskan 12 biji durian pada pekan pertama Januari diiringi azan Asar dari toa masjid yang berseberangan dengan lapak pedagang.
“Saya cari durian jatuh. Kualitas dan masaknya paling bagus,” kata Syukur. Dia sempat keheranan saat penjual mengoceh semua yang dijual di lapaknya adalah durian jatuh. Sebelum Syukur bertanya lebih jauh, penjual dengan nada meyakinkan berdiplomasi, durian ini jatuh dari bak mobil ke lapak. Jatuh dari pohon ke tanah seperti dicari Syukur itu bukan urusannya.
****
Sebagaimana Samarinda, Balikpapan turut menjadi penikmat durian asal Kutai Barat tersebut. Saat musim seperti sekarang, sangat mudah menemukan penjaja durian. Hampir jadi pemandangan di setiap sudut kota.
Salah satu penjual durian yang laris manis; Rezky Buah di Jalan MT Haryono. Setiap kali melewati kios ini, pasti banyak pengendara yang tak kuasa untuk tidak melirik. Bagaimana tidak, harum aroma khas durian begitu menarik perhatian.
Rezky Buah mendatangkan seluruh durian dagangannya dari Melak. Harganya pun bervariasi menyesuaikan ukuran dan kualitas. Mulai Rp 10 ribu, Rp 25 ribu, dan Rp 50 ribu per biji. “Semua kami datangkan dari Melak. Lagi musim durian di sana,” ucap Kardi, penjual di Rezky Buah.
Durian dipasok langsung petani di Melak. Tentu tak asal terima. Setiap durian yang datang harus disortir. Biasanya pengantaran durian dilakukan dua kali seminggu. Setiap pengiriman berkisar 2.000 biji untuk tujuh cabang Rezky Buah di Balikpapan.
“Kami beli dari pemasok juga hitungnya per biji. Kalau lagi sepi, bisa terjual 100 biji per malam. Kalau ramai bisa 200 biji,” ungkapnya. Dia bercerita, selama ini durian yang beredar di Balikpapan hanya dipasok dari tiga lokasi. Di antaranya, Banjarmasin, Palu, dan Melak.
Kardi menuturkan, setiap durian dari ketiga lokasi tersebut memiliki perbedaan jenis. Misalnya, Palu yang terkenal dengan durian montong. Tentu berbeda dengan durian asal Melak. “Kalau durian Palu baru musim pada awal tahun, biasanya Januari sampai Februari. Jadwal panen selama tiga bulan dalam satu tahun,” katanya.
Durian asal Palu merupakan tumpuan utama penjualan kiosnya. Melihat kualitasnya yang jauh lebih baik, harganya pun jauh berbeda dibanding durian lokal. “Jualnya diukur per kilogram. Saat mahal bisa mencapai Rp 50 ribu per kilo. Paling murah Rp 35 ribu per kilo. Kalau durian lokal ini yang sambil mengisi masa luang panen dari Palu,” ujarnya.