Mengurus sebuah klub bola, perlu orang yang benar-benar cinta dan mengabdikan diri. Bisa dibilang harus berani gila. Keperluan pengelolaan klub begitu menguras dompet. Berdasar pengalamannya terjun di Persiba, Yaser Arafat berbagi cerita mengelola keuangan klub. Mulai pemasukan hingga pengeluaran.
ALIH-alih untung, pemodal malah bisa jadi buntung. Risiko itu harus diterima Yaser saat mengelola Persiba sebelum dia lepas ke Rahmad Mas’ud. Dia menyebutkan, minimal dana digelontarkan Beruang Madu --julukan Persiba-- cukup fantastis. Bagi klub yang berlaga di Liga 2, angkanya mencapai Rp 8 miliar per musim.
Paling besar biaya tersedot untuk gaji pemain. Kemudian transportasi jika laga away dan logistik untuk perlengkapan pemain. Di antaranya, tempat tinggal, makanan, tempat latihan, sauna, vitamin, hingga medical check-up. Semua ini sudah sesuai persyaratan yang diberlakukan PSSI.
Lalu bagaimana caranya manajemen mencari dana? Yaser menjelaskan, sebagai pemegang saham atau pemodal, manajemen dibantu oleh tiga tim selama operasional klub. Pertama, tim komersial yang mengurus marketing, sponsorship, dan ticketing. Bisa dibilang tim ini tumpuan untuk mencari uang.
Kedua, panitia pelaksana (panpel) yang mengurus setiap pertandingan. Ketiga, tim manajer yang terdiri dari pelatih, asisten, dokter, fisioterapis, pemain, dan lainnya. “Tim manajer mengejar target kinerja tim sesuai permintaan pemilik. Sementara tim komersial yang mencari dana untuk operasional,” ucapnya.
Selama ini, sumber pemasukan klub juga beragam. Paling utama dari dana subsidi (termasuk hak siar) PSSI. Besarannya sekitar Rp 1,25 miliar. Kemudian dana dari sponsor terkait iklan di e-board, jersey, TV Commercial (TVC), dan sebagainya. Lalu pemasukan dari ticketing.
Namun, dia mengaku, ticketing tidak begitu menguntungkan selama bermain di Liga 2. Belum lagi masih ada hitungan korporasi tiket sebesar 15 persen. “Kalau dihitung harga tiket paling murah Rp 20 ribu, penonton maksimal lima ribu orang pun hanya mendatangkan Rp 100 juta,” jelasnya.
Yaser mengungkapkan, kebanyakan dana yang didapat dari penjualan tiket hanya habis untuk panpel. Setiap pertandingan, panpel menghabiskan dana hingga Rp 120 juta.
Mengingat banyaknya personel yang bertugas menjaga pertandingan, maka besar pula anggaran untuk makan panpel. Mulai kepolisian, pemadam kebakaran, hingga ambulans. Aturannya, setiap seribu penonton, maka perlu seratus polisi. Begitu pula jika lima ribu penonton, berarti perlu 500 personel. Artinya menyediakan dana panpel saja tidak bisa tertutupi dari ticketing yang hanya menghasilkan Rp 100 juta.
Hal yang tidak kalah bikin pusing yakni biaya tes lapangan sebelum pertandingan. Biaya yang dibebankan untuk menggunakan Stadion Batakan sebesar Rp 3 juta setiap kali pakai. “Dalam satu bulan hitungannya Rp 180 juta. Sedangkan satu musim sekitar 10 bulan, butuh Rp 1,4 miliar hanya untuk stadion. Sebab ada laga yang home dan away,” tuturnya.
Yaser menuturkan, selama ini pihaknya mandiri dalam mencari sponsor. Dia berharap Pemkot Balikpapan bisa hadir dan berkontribusi. Setidaknya tidak membebankan biaya lapangan alias gratis. Dia bercerita, saat di Stadion Parikesit, manajemen masih bisa untung dari ticketing. Sehingga keuangan bisa diputar dan berjalan baik.
Sebab, saat di Stadion Parikesit, manajemen mendapat corporate social responsibility (CSR) dari Pertamina. Mereka tidak butuh dana untuk membayar stadion tersebut. Meski stadion kecil, kebutuhan panpel juga sedikit. Hanya menghabiskan dana sekitar Rp 30 juta.
Meski kapasitas lebih sedikit, tiket penonton bisa mahal. Misalnya kelas VIP Rp 150 ribu dan ekonomi Rp 50 ribu. Dengan pola seperti itu, manajemen masih bisa untung Rp 30–40 juta.