BALIKPAPAN–Sinyal Kaltim sebagai ibu kota negara menguat ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertandang ke Benua Etam, Selasa (7/5). Namun, ada yang tidak pas saat Pemprov Kaltim melalui Gubernur Isran Noor menawarkan kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto sebagai calon pengganti Jakarta.
Pengamat lingkungan dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Bernaulus Saragih menjelaskan, kawasan Tahura Bukti Soeharto memang menjadi lokasi paling tepat dijadikan ibu kota negara. Aman dari aktivitas vulkanik dan banjir. Juga, didukung infrastruktur memadai seperti jalan tol.
“Terletak di antara dua kota besar, Balikpapan dan Samarinda. Diapit dua bandara dan pelabuhan. Jarak dengan pantai pun dekat,” ujar Saragih, kemarin (8/5).
Namun, ada dampak yang tidak akan bisa dihindari. Meski dalam pemaparannya, Bappeda Kaltim menyebut menghindari ibu kota berada di Tahura, namun Saragih yakin, pembangunannya bakal diikuti dengan perkembangan kawasan yang masuk dalam hutan yang sebagian merupakan berstatus konservasi itu. “Efek ikutannya. Tumbuhnya kawasan baru seperti semut mengerubungi gula,” katanya.
Potensi kawasan baru ini perlu mendapat atensi. Sebab, dari pemantauannya, setiap ada pembangunan kota baru, kota satelit muncul tanpa perlu campur tangan pemerintah. Menjadi kekhawatiran para ahli lingkungan soal 30 ribu hektare yang diminta pemerintah hanya untuk kawasan inti pemerintahan.
“Seperti perkebunan inti yang memunculkan perkebunan plasma. Nah, yang plasma ini siapa yang bisa menjamin tak mengganggu kawasan tahura,” bebernya.
Dari pengalamannya, apapun konsekuensinya, pertimbangan ekologi tak akan memengaruhi kebijakan suatu negara untuk mengubah alih fungsi lahan. Yang sebelumnya untuk menopang keberlangsungan lingkungan, menjadi keperluan yang lebih besar. Meskipun telah dilakukan mitigasi hingga dianggap bersifat destruktif.
“Jadi kalau itu keputusan sebuah republik, maka pertimbangan ekologi sifatnya minor. Meskipun itu mengorbankan orangutan misalnya,” sebut dia
Apapun yang terjadi, pemindahan ibu kota akan mengedepankan unsur politik dibandingkan kepentingan lingkungan. Apalagi tahura milik negara. Dengan tata kelola berada langsung di tangan pemerintah, jadi lebih mudah untuk memanfaatkannya jika dibandingkan memindahkan penuh ibu kota ke Penajam Paser Utara.
“PPU itu di mana yang murni dikuasai negara. Paling di ITCI yang itu pun statusnya HGU (hak guna usaha),” imbuhnya.
Sementara itu, kritik datang dari pengamat politik Lutfi Wahyudi. Menurut dia, dengan masuknya Tahura Bukit Soeharto sebagai kandidat ibu kota negara, menunjukkan sikap Pemprov Kaltim yang intoleran terhadap kelangsungan lingkungan kawasan yang disebutnya sudah dirusak oleh berbagai aktivitas ilegal itu. “Di sini ada agenda khusus yang tidak terbaca oleh publik,” katanya.
Dengan track record pemanfaatan sumber daya alam Kaltim, dari kehutanan menjadi pertambangan dan perkebunan sawit, dipastikan Tahura Bukit Soeharto akan menjadi tumbal selanjutnya yang dibungkus wacana pemindahan ibu kota.
Dia juga menduga ada kesenjangan cara berpikir Isran Noor dengan kemampuannya berbicara hingga dengan mudah menyorong tahura sebagai calon ibu kota. Padahal, tahura punya peran besar melindungi ekosistem hutan dan satwa dilindungi. Dan dari fungsi hidrologinya, kawasan ini adalah penjaga utama sistem air bagi wilayah di sekitarnya.
“Saya menyoroti Pak Isran sebagai gubernur yang seharusnya membuat kebijakan yang cerdas ketika menyebut tahura yang cocok untuk pemindahan ibu kota,” sebutnya.
Tapi ada harapan datang ketika Lutfi mendengar yang Jokowi katakan ketika kunjungannya ke Kaltim. Menurut dia, Jokowi merupakan sosok presiden yang punya pergaulan internasional yang dalam banyak kasus memiliki tata krama yang tinggi dalam menyampaikan sikapnya agar pihak lain tak tersinggung.