Ada celah yang diberi oleh pemerintah pusat agar perusahaan tambang lepas dari tanggung jawab reklamasi yaitu Permen ESDM No 7 Tahun 2014. Bahwa selain reklamasi, perusahaan tambang bisa menjadikan lubang bekas tambang sebagai sumber air, budi daya ikan, irigasi, maupun tempat wisata.
Itu tentu saja membuat pemerintah daerah justru semakin sulit bergerak. Aturan tersebut memberi celah yang besar kepada perusahaan tambang untuk lepas dari tanggung jawabnya. Padahal, reklamasi yaitu penutupan lubang tambang dengan tanah. Harusnya dilakukan perusahaan tambang dengan mengembalikan fungsi tanah yang awalnya ditambang.
Berdasarkan keterangan dosen Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia, Budi Haryanto, kepada Tirto, kandungan air dari lubang bekas tambang mempunyai banyak kandungan logam berat. Secara umum harusnya tidak ideal untuk menjadi irigasi, sumber air, ataupun budi daya ikan (meskipun saya akui, di beberapa tempat hal ini berhasil dilakukan).
Begitu pula dengan menjadikannya sebagai tempat wisata. Warna hijau atau biru di kolam lubang tambang memang indah dilihat. Tapi menjadikan ratusan atau bahkan ribuan lubang tambang sebagai tempat wisata tentu merupakan hal yang konyol. Belum lagi risiko besar jika ada yang terpeleset dan tenggelam.
Tapi sekali lagi, Pemprov Kaltim harusnya tidak begitu saja berlepas tangan. Seharusnya mereka bisa mencari celah agar lubang tambang itu tidak memakan korban. Pemprov Kaltim harusnya bisa mewajibkan pemagaran lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi tersebut agar tidak bisa diakses sembarang orang.
Kasus korban ke-33 (Alm Rizky Nur Alia) pun terjadi karena mudahnya lubang tambang yang berlokasi di Muara Kaman, Kutai Kartanegara, tersebut untuk diakses. Meskipun lubang tambang dimanfaatkan untuk irigasi warga untuk pengairan sawah, tidak ada pemagaran yang harusnya bisa membatasi akses lubang tambang tersebut. Bahkan papan peringatan saja tidak ada.
Dan itu pula sebenarnya salah satu pernyataan Abi saya kepada media Desember lalu. Beliau menyatakan bahwa mudah saja sebenarnya perusahaan tambang itu melakukan pemagaran kawat agar membatasi akses lubang tambang.
Tapi di film Sexy Killers, kita bahkan melihat pernyataan salah seorang warga bahwa pemagaran itu justru kadang dilakukan tanpa tanggung jawab. Hanya memasang seng yang tidak dipasang dengan baik dan hanya ditaruh sekenanya. Seolah-olah lubang tambang itu adalah toilet umum.
Pencabutan IUP yang Melanggar
Dalam UU No 23 Tahun 2014, pemerintah daerah diberi kewenangan mencabut IUP yang bermasalah. Pemprov Kaltim harusnya bisa melakukan hal tersebut ketika ada perusahaan tambang yang melanggar. Pemprov Kaltim sendiri, dalam hal ini Abi saya, pernah menyatakan telah mencabut IUP dua perusahaan, yaitu CV Sanga-Sanga Perkasa dan CV Artha Pratama Jaya.
Namun ternyata, hal itupun tidak seindah maupun semanis kedengarannya. Dalam penelusuran Jatam, yang dilakukan bukanlah pencabutan izin, melainkan 'hanya' pemberian surat peringatan.
Pemprov Kaltim harusnya menggunakan kewenangannya yang cukup besar itu untuk mencabut IUP yang bermasalah. Tanpa banyak kompromi yang justru memberikan celah terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang melanggar.
Komitmen Terhadap Lingkungan yang Dipertanyakan
Selain hal-hal yang saya sebut di atas, ada pula beberapa hal yang membuat saya bertanya-tanya mengenai komitmen Pemprov Kaltim, dalam hal ini Abi saya terhadap lingkungan. Jika masalah Indonesia adalah ketidakmerataan pembangunan, dan solusinya adalah pembangunan infrastruktur yang masif, masalah Kaltim adalah eksploitasi lingkungan. Solusi seharusnya adalah pemerintah menaruh fokus kerja mereka terhadap hal tersebut.
Dampak perusakan lingkungan mungkin tidak begitu terasa sekarang. Tapi dampaknya akan terasa sepuluh hingga ratusan tahun mendatang. Masalah lingkungan merupakan masalah kepedulian kita terhadap masa depan anak cucu. Tapi hal itu pun dipertanyakan dengan pernyataan-pernyataan Pemprov Kaltim yang justru berseberangan dengan hal tersebut.
Pertama, Pak Isran, juga Abi saya, meminta Kementerian ESDM mencabut pembatasan produksi batu bara. Padahal, hal yang tidak bisa dihindari dari eksploitasi lingkungan (dalam hal ini tambang batu bara) adalah bahwa bagaimanapun juga kita membutuhkannya untuk pasokan energi pembangkit tenaga listrik. Karena itulah langkah Kementerian ESDM untuk melakukan pembatasan sudah merupakan langkah kompromistis yang harusnya tidak ditentang.