SAMARINDA – Musibah di bekas lubang tambang hingga merenggut nyawa di Kaltim harusnya jadi perhatian serius. Terhitung sejak 2011 hingga kejadian terakhir pada Rabu (29/5), yang menewaskan Natasya Aprilia Dewi, korban sudah 34 orang. Jumlah yang tak sedikit. Dari puluhan kejadian, hanya satu kasus yang sampai ke meja hijau, yakni musibah pada 24 Desember 2011 yang menewaskan Dede Rahmat.
Kejadian yang terus berulang membuat Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang, mengutuk keras musibah yang menimpa para korban. “Ini sudah korban kelima di era Isran Noor memimpin sebagai gubernur Kaltim. Tapi tak ada tindakan tegas yang bisa diambil,” ujarnya.
Terlebih, kejadian yang menimpa Natasya Aprilia Dewi. Menurut Rupang, pemilik konsesi seolah tidak belajar dari kesalahan yang sebelumnya pernah terjadi pada Desember 2012 silam.
“Di konsesi perusahaan yang sama. Seharusnya, pemerintah membuka mata lebar-lebar dengan kejadian yang ada,” sambung Rupang. Terlepas dari siapa yang bekerja di lahan itu, pihak-pihak terkait seharusnya bisa mendapat status hukum yang jelas.
Ditegaskan Rupang, terlebih dengan cerita yang diperoleh Jatam Kaltim yang melakukan peninjauan ke lokasi kejadian. “Kami bahkan dapat info, masyarakat itu sudah bertahun-tahun menunggu perusahaan menutup kembali lubang itu. Artinya, perjanjian yang disepakati dengan warga sudah dilanggar,” tambah pria yang vokal menyoal perihal kejahatan lingkungan itu. Menurut dia, pemerintah harus punya sikap tegas untuk kejadian yang sudah berulang kali terjadi.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Haris Retno menuturkan, banyak kasus lubang tambang tak selesai seutuhnya. Menurut dia, pemerintah mendorong perusahaan yang bersangkutan untuk memberikan santunan. “Itu enggak salah, tapi tidak menghilangkan tanggung jawab pidananya,” ujarnya.
Perempuan yang aktif di Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak itu menyebut, perkara kematian di lubang tambang bukan delik aduan. “Jadi, polisi seharusnya tetap melakukan penyelidikan. Kalau memang sampai ke persidangan, tali asih itu bagi jadi poin pertimbangan. Intinya polisi wajib penyelidikan,” tegas Retno.
Menurut dosen yang juga ketua program studi S-2 Fakultas Hukum Unmul, mengingat kejadian yang sudah berulang dan tidak adanya kejelasan hukum, baginya sebagai bukti kondisi hukum di Indonesia.
“Artinya hukum sedang tidak baik,” sambung Retno. Dia bahkan menegaskan berulang-ulang saat diwawancarai harian ini, tali asih tidak menggugurkan unsur pidananya. “Walau sudah ada santunan, tetap polisi harus menyelidiki,” jelasnya.
Retno tak hanya mengkritisi kepolisian. Tanggung jawab juga ada di tangan pemberi izin, dalam hal ini sudah pasti pemerintah. “Ada dua izin, pusat dan daerah,” sebutnya.
Ketika ada masalah, dosen yang konsen ke hukum pertambangan itu menilai, seolah-olah hendak saling melempar tanggung jawab. “Daerah bilang ke pusat, begitu sebaliknya. Jangan lepas tanggung jawab dong,” ucapnya.
Dia juga menyoroti izin pertambangan yang berada dekat dengan permukiman warga. Menyinggung perihal reklamasi, dia menilai pemerintah juga tidak transparan. “Tidak pernah detail dan pembahasan dana jamrek itu informasi yang bisa didapat masyarakat,” tegasnya.
Senada dengan Rupang, Retno juga mengkritisi gubernur yang sejak memimpin sudah lima korban tenggelam di lubang tambang. “Seharusnya ada langkah yang bisa diambil. Mencari siapa yang harus bertanggung jawab,” jelas Retno.
Sebab, menurut dia, lubang itu bukan tiba-tiba ada. Meski sudah tidak beroperasi, perusahaan tetap bertanggung jawab. Soal aturan yang dibuat perihal lubang setelah aktivitas tambang, khusus peruntukan seperti menjadi tempat wisata atau peternakan, itu tidak bisa seutuhnya diberlakukan di Kaltim. Pemerintah pusat dan daerah tersebut harus sama-sama bertanggung jawab. Kata dia, masyarakat dibuat waswas dengan daerah yang terus dikepung tambang.
GUBERNUR: TANYA PEMBERI IZIN