”Anak orang kaya tidak diterima di sekolah negeri masih ada pilihan masuk sekolah swasta bagus. Berbeda dengan anak orang miskin,” tandasnya. Dengan skenario ini Indra mengatakan APM pasti akan naik secara signifikan. Sebab anak miskin yang rentan putus sekolah atau drop out sudah tertampung di sekolah negeri semuanya. Sementara anak orang kaya ada alternatif masuk sekolah negeri atau swasta yang bagus.
Kepada masyarakat yang masih mengklasifikasikan ada sekolah negeri favorit dan tidak favorit, Indra berharap untuk menyudahinya. Baginya saat ini tidak ada sekolah negeri yang favorit atau tidak favorit. Kalaupun ada sekolah yang nilai ujian nasionalnya tinggi-tinggi, itu dipicu karena input peserta didiknya bagus-bagus dan banyak siswanya ikut bimbingan belajar (bimbel).
Menurut dia saat ini sangat sulit untuk melihat sebuah proses pembelajaran di sekolah negeri yang dicap favorit. ”Kita di kalangan pendidik sering bercanda begini. Sekolah favorit itu mau yang mengajar kambing sekalipun, nilai UN-nya bagus-bagus dan banyak yang diterima di PTN,” katanya lantas tertawa.
Sementara itu anggota Komisi X DPR Ferdiansyah mengatakan Permendikbud 15/2018 tentang PPDB seharusnya bisa lebih luwes. Dia mencontohkan soal aturan jumlah siswa dalam satu rombel bisa dibuat fleksibel. ”Misalnya ada kelebihan dua sampai lima murid, tidak perlu membuat rombel baru. Cukup jumlah siswanya ditambah,” katanya.
Politisi Partai Golkar itu menjelaskan peraturan tersebut juga tidak mencantumkan jika ada kondisi-kondisi luar biasa. Dia mencontohkan kuota 5 persen untuk siswa berprestasi bisa jadi persoalan. Contohnya pada zonasi tertentu ada banyak anak berprestasi. Misalnya di bidang olahraga atau lainnya. Diantara mereka pasti ada yang merasa dirugikan karena kuota jalur perstasi hanya 5 persen.
Begitupula jika pada kondisi tertentu ada sebuah konflik atau bencana yang memicu adanya ekstradisi atau perpindahan penduduk dalam jumlah banyak. Sementara kuota untuk di luar zonasi hanya 5 persen. Dia berharap ketentuan PPDB zonasi lebih diperlunak.
Inspektur Jenderal Kemendikbud Muchlis Rantoni Luddin tidak menampik ada caurt-marut penerapan PPDB 2019 di beberapa daerah. Muchlis menilai kegaduhan itu akibat dari terlalu banyak daerah yang melakukan modifikasi Permendikbud Nomor 51 tahun 2018. "Persoalannya karena di kuota zonasi 90 persen ini banyak variasinya. Yang dipastikan adalah anak di dalam zonasi itu harus masuk," jelasnya saat dihubungi kemarin.
Jika daya tampung sekolah tidak dapat menampung banyaknya siswa, maka lebarkan zonasinya di daerah. Jangan terlalu kaku. Wajib melapor ke dinas pendidikan (dispendik) daerah setempat.
Nantinya, kewenangan dispendik untuk menyalurkan kelebihannya ke sekolah lain yang masih dalam satu zonasi. Jika dalam satu zonasi sudah penuh, akan disalurkan ke sekolah lain luar zonasi terdekat.
Menurut Muchlis, antrean orang tua siswa di sekolah untuk mendaftar itu tidak perlu. Karena pendaftaran dilakukan secara online. "Dipastikan siapapun mau antre daftar duluan atau terakhir selama dalam zona akan masuk. Kalau online lan transparan dan kuotanya ketahuan," urainya. (han/wan)